Seperti yang kita ketahui bersama bahwa,
pendidikan mempunyai peran yang sangat vital atau penting dalam kehidupan.
Bahkan, pendidikan dianggap bisa menjadi tolak ukur dalam meramal seseorang di
masa depan. Jika seseorang belajar keguruan, maka tidak jauh jauh dia
diramalkan akan menjadi guru. Jika sekarang dia belajar kedokteran, maka bisa
dipastikan kelak ia akan menjadi dokter. Begitu sangat mulia peran pendidikan
sehingga orang tidak pernah merasa curiga terhadap makhluk yang bernama
pendidikan.
Di zaman yang serba maju ini, pendidikan
justru melahirkan masalah khususnya masalah akhlak. Banyak kasus yang terjadi
seperti kenakalan remaja, sex bebas, kekerasan terhadap guru serta merosotnya
moral anak muda. Dengan demikian muncul kontradiksi. Disatu sisi pendidikan
sebagai tempat untuk membentuk dan mendidik moral bangsa. Tetapi disatu sisi
pendidikan malah semakin menunjukan ketidak bermoralan suatu bangsa.
Ada satu hal yang sering menjadi ironi
bagi pendidikan, yakni kualitas alumni di dunia kerja. Misalnya, sebut saja si
Joko, ia sangat rajin di sekolahnya. Dia mengikuti semua aturan sekolah. Namun
ketika dia lulus, dia tidak menjadi apa-apa. Berbeda nasib dengan Jaka yang
dianggap nakal oleh sekolah karena tidak mentaati peraturan. Namun ketika
lulus, Jeki bisa membangun bisnis dan kaya raya. Pertanyaannya adalah, apa
sebenarnya tujuan pendidikan?
Menurut Syekh Nawawi al-Bantani, tujuan
pendidikan dalam Islam adalah cerminan dari tugas manusia diciptakan, yaitu
beribadah kepada Allah dan menjadi khalifah di muka bumi. Yang mana, semua itu
dalam rangka mencari rida Allah. Baik perbuatan yang berhubungan dengan diri
sediri ataupun, orang lain. Jadi
acuannya bukan seberapa kaya, namun seberapa bermanfaat bagi sekitar.
Saya teringat ungkapan Bendictus. Beliau
mengatakan, "Apabila agama sudah diasingkan, goncanglaj nilai kemanusiaan
menanti rubuhnya." Juga sebaliknya, manusia akan selamat dengan agama.
Ulama besar yang berasal dari Indonesia
yakni Syekh Nawawi Al Bantani mengatakan bahwasanya hakikat pendidikan bukan
hanya pada mentransfer ilmu, nila dan metode serta perubahan atau transformasi
saja akan tetapi bagaimana menerapkan ajaran tersebut dalam kehidupan sehari
hari dari bagaimana dia berinteraksi pada lingkungan sosial yakni masyarakat
dan bagaimana cara dia berinteraksi pada Tuhan nya sehingga pendidikan membawa
keberkahan.
Diturunkan agama bukan hanya sebagai
komplemen dalam hidup, akan tetapi agama diturunkan atas dasar keadaan zaman
dimana keberadaan manusia sebagai objek dan permasalahan agama itu sendiri.
Manusia butuh akan agama karena jiwa dan rohani akan kosong, kering kerontang
tanpa azas azas dasar Islam yang nyata.
Di sini saya menangkap bahwa
agama yang diturunkan dibelahan bumi ini adalah untuk ketenangan batin.
Mengingat keyakinan akan agama ditunjang faktor batin, maka benar sekali
argumen Pascal bahwa ia mengatakan Agama itu tidak mungkin di yakini manusia,
kalau hanya dari sumber akal, akan tetapi haruslah dari sumber yang timbul dari
perasaan dan keinsyafan hati serta petunjuk ilahi.
Allah menurunkan agama sebagai sandaran
vertikal ibadah untuk komunikasi antara sang sang khalik dengan makhluknya.
Bisa disimpulkan bahwa agama di butuhkan manusia, karena manusia itu sendiri
yang ingin mencari jalur jalur kebenaran dimana eksistensi kehidupan yang
sebenarnya. Bukan sebaliknya agama diturunkan untuk kemaslahatan atau kebodohan
melainkan karena manusia butuh akan agama, sama dengan manusia itu butuh akan
Tuhan. Jikalau manusia tanpa agama pasti pondasi rumah rumah akan lemah sesuai
dengan kata Albert Einstein " Pengetahuan tanpa agama adalah lumpuh, agama
tanpa pengetahuan akan buta"
Allah akan meninggikan orang-orang yang
beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa
derajat..." (QS. Al-Mujadilah [58]: 11)
"Al-'Ilmu bila amalin kasysyajari
bila tsamarin". Ilmu tanpa amal ibarat pohon tak berbuah. Demikian
diungkapkan salah satu kalimat hikmah dalam bahasa Arab.
Pertama, seseorang yang memiliki ilmu,
tetapi sikap dan perilakunya sama sekali tidak mencerminkan ilmunya, bahkan
berbanding terbalik dari ilmu yang dimilikinya, maka ia termasuk orang yang
berilmu tanpi minus amal. Orang yang demikian ini, bahkan sangat mungkin tidak
mendapatkan hidayah dari ilmu yang dimilikinya tersebut. Rasulullah saw
mengecam keras orang-orang yang berilmu tetapi tidak bersikap dan berperilaku sesuai
ilmu yang dimilikinya. Dalam salah satu sabdanya beliau menegaskan,
"Barangsiapa yang bertambah ilmunya dan tidak bertambah hidayahnya,
niscaya ia akan bertambah jauh dari Allah swt." Ya, seseorang yang
berilmu, tetapi tidak semakin baik perilakunya, tidak bertambah taat ibadahnya,
tidak memberi manfaat kepada sesama, justru akan semakin jauh dari Allah.
Inilah salah satu makna dari ungkapan di atas, bahwa ilmu tanpa amal bagaikan
pohon tak berbuah.
Sedangkan seseorang yang berilmu, kemudian
dia beramal dengan ilmu yang dimilikinya, maka dia akan diberi ilmu oleh Allah,
yang belum pernah diketahui sebelumnya. Hal ini seperti ditegaskan dalam sebuah
hadis yang bersumber dari Anas bin Malik, "Barangsiapa mengamalkan apa-apa
yang ia ketahui, maka Allah akan mewariskan kepadanya ilmu yang belum
diketahuinya."
Kedua, makna lain dari ungkapan bijak
tersebut adalah, jika seseorang memiliki ilmu, tetapi ia tidak pernah mau untuk
berbagi ilmu kepada orang lain, enggan untuk mengajarkan ilmunya kepada orang
orang lain, maka ilmu yang dimilikinya ibarat pohon yang rindang, namun tidak
menghasilkan buah, yang bisa memberi manfaat kepada orang lain.
Kualitas ilmu seseorang justru akan
semakin baik dan meningkat, ketika ia diiringi dengan ketulusan berbagi ilmu
dengan orang lain. Ilmu akan berkembang ketika diajarkan kepada orang lain.
Sebaliknya, ilmu akan mandek ketika hanya dimiliki sendiri. Ilmu harus
diamalkan. Ilmu yang diamalkan ibarat pohon yang rindang dengan buah yang
lebat, sehingga bisa memberi manfaat kepada sesama manusia.
Manfaat ilmu akan dapat dirasakan ketika
mampu diwujudkan dalam tindakan nyata. Keberkahan ilmu akan terasa ketika ilmu
yang dimiliki seseorang mampu memberi pencerahan kepada orang lain. Betapa pun
tingginya ilmu seseorang, tetapi ketika ilmu yang dimilikinya tidak dapat
memberi manfaat, baik untuk dirinya sendiri, lebih-lebih kepada orang lain,
maka sia-sialah apa yang dimilikinya itu.
Singkatnya, ilmu yang membawa rahmat
adalah ilmu yang bermanfaat bagi umat. Ilmu yang membawa berkah adalah ilmu
yang mampu menggugah untuk hidup lebih terarah. Ilmu yang membawa hidayah
adalah ilmu yang dapat mengubah seseorang dari jalan yang gelap menuju jalan
yang terang. Ilmu yang membawa cahaya adalah ilmu yang mengantarkan pemiliknya
menuju kebahagiaan dunia-akhirat.
Jika mengacu kepada ayat di atas, maka
fondasi utama yang harus dibangun, jauh sebelum seseorang memiliki ilmu adalah
iman. Ya, dengan fondasi iman yang kokoh, maka ilmu yang dimiliki seseorang
akan mampu menjadikannya sebagai pribadi yang mulia. Dia akan mendapatkan
tempat yang baik di tengah manusia dan posisi di hadapan Allah.
Prinsip pendidikan menurut Syekh Nawawi
al-Bantani adalah sebagai pengalaman yang menggembirakan. Seorang Pendidik harusnya memahami bahwa
peserta didik ini harus dituntun bukan dituntut. Karena sebenarnya, semua
peserta didik juga menginginkan keberkahan ilmu, hanya saja ketika metodenya
tidak sesuai, peserta didik cenderung malas dan tidak mendengarkan materi dari
pendidik.
Pendidik ini, jika diibaratkan, seperti
seorang dokter. Yang mana, sebelum memberikan obat, seorang dokter harus
memahami terlebih dahulu penyakit apa yang diderita oleh pasien. Dan untuk
mengetahui penyakit tersebut, harus dilakukan pengamatan yang mendalam. Tidak
sekadar kira-kira saja. Karena jika hanya mengira-ngira, maka dihawatirkan
ketika diberikan obat pasien ini tidak akan sembuh. Malah bisa-bisa sakitnya
lebih parah. Karena obat yang diberikan tidak sesuai dengan apa yang
dibutuhkan.
Kemudian, berkaitan dengan peserta didik,
di sini Syekh Nawawi al-Bantani sangat menekankan akhlak dalam proses pencarian
ilmu. Dan jika diterapkan dengan baik, asumsi saya tidak ada lagi kasus
penganiayaan terhadap guru. Kalau diibaratkan, peserta didik ini seperti
seorang yang meminta air yang memegang erat norma dan etika. Misalnya memulai
dengan kata-kata yang sopan.
Secara logika, tidak mungkin orang yang
meminta justru menggunakan nada tinggi atau bahkan membentak. Karena jika itu
dilakukan maka orang yang memberikan air akan cenderung malas, bahkan sangat
mungkin untuk tidak memberikan airnya. Kemudian ketika sudah diberikan air,
harus mengucapkan terima kasih meskipun seandainya air yang diberikan tidak
sesuai dengan apa yang kita harapkan.
Pemikiran Syekh Nawawi al-Bantani dalam
pendidikan rasanya masih bisa diterapkan dalam beberapa hal, khusunya bidang
akhlak, karena di era modern ini yang hilang dari kita adalah akhlak Namun
perlu diakui bahwa tidak ada teori yang mutlak kebenarannya, karena itu
perpaduan berbagai teori tetap perlu dilakukan untuk memajukan pendidikan
Indonesia khususnya pendidikan Islam.
Penulis : Sulis Nur Abdillah (mahasiswa Prodi Pendidikan Agama Islam Universitas Muhammadiyah Purwokerto)
Luar biasa
BalasHapuslupa kasih nama
BalasHapusAditia juliarto 1906010003
Ifroh Zahra salmia
BalasHapusDari sekian banyaak judul yang saya lihat, judul ini yang lumayan menarik perhatian saya. "Rajin tidak jadi apa-apa, nakal jadi orang sukses." Cukup bar-bar ya judulnya, setelah membaca sampai selesai, dan melihat masyarakat kita, memang ada "beberapa" orang yang dulunya nakal dan sekarang sukses dalam pekerjaannya, karirnya, dll. Namun yang digaris bawahi adalah hal ini bisa saja terjadi dengan sebab2 lain, dia nakal, namun dia memang punya potensi dibidang itu, jadi nakal ini jangan menjadi sesuatu yang disorot, atau seperti yang penulis contohkan, Joko dulunya rajin tapi dia tidak jadi apa2, mungkin bukan karna sebab rajinnya itu, ya dia rajin, tetapi hanya sebatas rajin saja kaya rajin belajar, membaca, taat peraturan, tapi dia tidak pernah mengikuti kegiatan penunjang seperti workshop, kepanitiaan, organisasi, jadi akhirnya dia kurang bisa bersosialisasi atau kurang dalam ilmu penunjang yang berguna ketika dia didunia pekerjaan makanya dia hanya menjadi Joko yang biasa2 saja.
Jadi menurut saya pribadi, kita harus lebih berhati2 ketika berkata hal2 seperti "gapapa nakal, dulu aja si A nakal tapi sukses, giliran B yang rajin malah biasa2 aja." Nah ini adalah sesuatu yang sensitif, dan bisa jadi boomerang bagi orang2 yang kurang paham, barang kali mereka menganggap bahwa yah nakal aja gapapa, gausah rajin2, toh banyak yang dulu nakal tapi sukses, dan yang rajin2 malah biasa2 aja.
Seperti itu sih dari saya hehe
Terimakasih...
Hapus