Tepat di tanggal 10 Juli 2022 yang lalu,
saya resmi menjadi salah satu partner kerja di Lembaga Pendidikan Muhammadiyah
bernama Pondok Pesantren Modern Muhammadiyah Zamzam Cilongok, sebagai salah
satu seorang pembimbing santri yang dengan bahasa lain bernama Musyrif, setelah
hari demi hari, pekan demi pekan saya jalani, ternyata banyak sekali
hikmah-hikmah kehidupan yang bisa saya petik dari apa yang terjadi di dalam
dunia pesantren ini, terkhusus untuk persoalan berwirausaha, pada suatu senja
menjelang maghrib saya sempat berbincang secara ringan dan hangat dengan salah
satu bapak-bapak yang belum terlalu tua perawakannya, kebetulan beliau adalah
salah satu dari sekian orang yang menjadi tim pemasok alias distributor
berbagai macam barang yang di jualnya di kantin pesantren terutama makanan
jajanan, mungkin kita sudah ketahui bersama bahwa berjualan makanan itu agak
gampang gampang susah, karena makanan terutama yang bersifat basah maka dapat
dipastikan daya tahannya hanya sehari saja, maka apabila dalam satu hari
tersebut ternyata tidak laku seluruhnya, lantas bagaimana nasib dagangannya
tersebut, apakah akan menjadi basi sehingga sesuatu yang mubadzir? Bagaimana
pula jikalau kita menyinggung soal laba keuntungan dalam sehari itu bilamana
tidak semuanya habis terjual?
Boleh di bilang secara singkatnya adalah
bahwasanya “jikalau kita berani berjualan di dalam dunia pondok pesantren, kita
sama sekali tidak bisa membicarakan terlebih dahulu soal profit laba dan
sebagainya, namun kita fokus saja terkebih dahulu dengan mencari barokahnya,
begitu sih mas ustadz” ujar bapak itu kepada saya, dan dari apa yang beliau
katakan saya pun awalnya agak meragukan atas apa yang beliau katakan, piker
singkat saya realistis saja ya kan, dimana saat ini semua orang sedang berada
di masa sulit perekonomiannya, sebua harga kebutuhan pokok sehari-hari sedang
melonjak tinggi tidak terkira, semua orang sedang berusaha mencari berbagai
pemasukan tambahan dan berbagai peruntungan sebanyak-banyaknya demi tetap bisa
menyambung kebutuhan setiap individunya, yang mungkin salah satunya adalah
dengan berjualan, berdasarkan apa yang beliau katakan tadi maka muncullah
ribuan tanda tanya dan pikiran terheran-heran dalam pikiran saya, hampir
mustahi bagi seorang pedagang yang berani mengeluarkan sekian modalnya untuk
berjualan makanan namun kemudian dia tidak memikirkan sama sekali soal
keuntungan yang nantinya akan di dapat.
Untuk mencari kunci keberkahan dalam
berdagang, khususnya di pondok pesantren hanya ada empat kunci saja, yakni yang
pertama gigih, senantiasa bersemangat dan istiqomah pada tiap usaha apapun,
harus tahan banting dan tidak boleh mudah menyerah. Kedua jujur, selalu terbuka
dan transparan setiap melakukan transaksi jual beli termasuk pula dalam urusan
manajemen barang dagangannya, yang ketiga ialah cermat dan pandai, pintar dalam
membaca situasi dan kondisi target pasar yang di inginkan oleh santri, karena
jikalau kita tidak pandai maka dapat dipastikan jualan kita hanya stagnan saja
atau bahkan bisa merosot hingga benar-benar mengalami kerugian besar, dan yang
keempat adalah bertawakkal, yakinkan dan pasrahkan saja atas segala usaha yang
telah kita lakukan kepada Allah SWT, maka InsyaAllah tanpa repot-repot
memikirkan urusan laba pun pasti rezeki kita akan lancer-lancar saja, begitulah
ujarnya.
“Lha wong saya itukan jualan di pondok
pesantren nggak serta merta cuma mikirin untung gede mas, kalo mau untung gede
mungkin dari kemarin saya lebih baik jualan di pasar atau di pinggir jalan raya
saja yang sudah jelas pasti ada yang beli, kalo jualan di pesantren itu modal utamanya adalah kesabaran dan ketabahan mas” ucap beliau.
Setiap pagi hari sekitar pukul 6 pagi
beliau datang ke kantin dan mulai menjajakan berbagai jajanannya yang sudah di
siapkan di wadah makanan dan juga termos, sedikit banyaknya kuantitas barang
yang dimasukkan menyesuaikan dengan jam buka kantin pesantren, dan jam
operasionalnya pun akan tutup sekitar jam 5 sore menjelang maghrib, semua
barang akan diserahkan kepada petugas kasir yang berjaga.
Cukup banyak varian makanan yang beliau input,
mulai dari kue-kue seperti jajanan pasar, roti, donat, siomay, cilok, berbagai
minuman es hingga nasi uduk dan nasi goreng pun ada. Ada beberapa jajanan yang
menjadi favoritnya para santri seperti contohnya adalah nasi goreng, nasi uduk,
dan cilok, namun terkadang tidak selalu menjadi yang paling laris dibeli oleh
para santri, sehingga pada hari tertentu tetap saja ada jenis jajanan yang
masih tersisa walaupun itu adalah yang menjadi kesukaan para santri. Dan pada
sore menjelang maghrib beliau akan memeriksa kembali dagangan apa yang belum
laku terjual, apabila masih ada yang tersisa maka biasanya akan di sedekahkan
ke satpam yang sedang berjaga dan para ustadz yang mungkin saja minat,
berapapun sisanya baik itu tinggal sedikit maupun cenderung masih banyak,
beliau akan tetap memberikannya secara cuma-cuma setiap sore hari.
Lantas dalam pikir saya berkata, apakah
nantinya tidak mengalami kerugian dari modal yang dikeluarkan, apakah mungkin
saja masih bisa di simpan di lemari pendingin kemudian masih bisa di jual lagi
esok harinya, beliau berkata “ya ndak kok mas, Alhamdulillah nyatanya saya ndak
pernah buntung, itulah ajaibnya ridho Allah, saya dan keluarga alhamdulillah
rezekinya ada terus, ngga pernah kesulitan”.
Yang dengan demikian apabila bapak itu
mengalami untung maupun rugi di setiap harinya, semuanya sudah di pasrahkan dan
ikhlaskan lillahi ta’ala, beliau juga tak pernah mempermasalahkan apabila
barang dagangannya tersebut masih ada atau bahkan banyak yang tersisa ketika
sore harinya, dari sini saya mulai terenyuh betapa lapangnya hati bapak ini ketika
berdagang menjajakan tiap jajanannya di kantin pondok. Selain itu beliau juga
paham betul semisal ada jajanan apa yang kelihatannya sudah agak kurang
diminati, beliau akan mengganti macam jenis jajanan yang sekiranya sudah tidak
relevan atau santri sudah merasa bosan, biasanya siklus penggantiannya sekitar
satu sampai dua pekan sekali.
“InsyaAllah kalo kita berdagangnya di
niatkan ikhlas dan tulus karena Allah, usahanya kita istiqomah, kita memahami
apa yang di inginkan santri, dan senantiasa jujur, ya pasti lancar-lancar saja
kok mas ustadz” ujar beliau lagi, dan beliau juga sangat loyal untuk urusan
sedekah, saya bisa lihat sendiri bagaimana kedermawanan dan kemurahan hati
beliau ketika ada barang dagangan yang tersisa.
Maka kembali lagi kepada diri kita
masing-masing bahwa terkadang, masih banyak orang yang buru-buru memikirkan
profit ketika sedang berwirausaha, walau memang berjualan tujuannya adalah
mencari rezeki, namun bisa jadi rezeki itu justru tak selalu datang dari hasil
berwirausahanya kita, dari cerita tadi dapat kita simpulkan sejenak yakni ada
kalanya kita harus punya sifat murah hati dan suka berbagi terhadap sesama, tak
harus harus sengaja mencari-cari waktu atau kesempatan, berbagi juga bisa
dilakukan secara spontan tanpa direncanakan. Misalnya saja, kita sedang
berbelanja ke kantin, lantas kita ingat bahwa teman sekamar kita sedang lapar
dan tak punya uang jajan, maka kita bisa membelikan makanan atau minuman ringan
untuknya, atau seperti kisah bapak tadi, dimana kita bisa menyenangkan hati
seseorang dengan apapun yang kita berikan dan tidak hanya menikmati rezeki yang
kita dapatkan sendirian saja. Wallahu a’lam bish showab.
Penulis : Huwaid Wahyu Ar Rahman (mahasiswa
Prodi Pendidikan Agama Islam Universitas Muhammadiyah Purwokerto)