Dunia masih belum pulih
dari gelombang pandemi covid19, kini kembali diparah oleh menajamnya pertarungan di antara kekuatan besar
imperialis dunia yang kian memerosotkan rakyat dunia dalam jurang penderitaan. Pertarungan sengit di
antara kekuatan sistem kapitalis monopoli tersebut telah pecah menjadi medan perang di Ukraina yang didalangi oleh AS-NATO
(ar monger) yang mendukung rezim
sovinis fasis di Kyev (Ukraina) melawan Rusia (2014), jauh hari sebelum Rusia
melancarkan operasi militer khusus di wilayah Ukraina Februari 2022.
Serangan rezim fasis
Ukraina dengan persenjataan yang dipasok oleh AS-NATO tersebut, telah memicu krisis kemanusiaan di wilayah Donbass
sehingga Republik Rakyat Donetsk (DPR) dan Republik Rakyat Lugansk (LPR) menuntut hak menentukan
nasib sendiri sebagai negeri berdaulat,setelah sebelumnya rakyat di Semenanjung Krimea juga memenangkan
fererendum memisahkan diri dari Ukraina dan kembali ke pangkuan Rusia
pada tahun 2014.
Perang dalam arti konflik
bersenjata di Ukraina pada dasamya sudah pecah sejak tahun 2014, meskipun lahir Penjanjian Minsk II (2015) antara
antara Rusia, Belarus, Jerman dan Ukraina, namun kesepakatan tersebut kembali dilanggar oleh rezim Kyev
di Ukraina yang terus mengobarkan kekerasan bersenjata dengan dukungan penuh AS-NATO. Bahkan pada perkembangannya
perluasan kekuatan militer Kyiv semakin
mengancam di wilayah perbatasan Belarus dan Rusia, dan puncaknya usaha NATO
menjadikan Ukraina sebagai
anggotanya. Suatu ancaman besar bagi Rusia di pintu depannya sendiri. Rusia
tidak bisa lagi tinggal diam ketika
semua jalan damai dan peringatan damai tidak lagi dicapai sehingga melahirkan operasi
militer khusus Rusia di
wilayah Ukraina untuk membebaskan bangsa
Rusia di wilayah Donbass.
Perang dalam wujud apa
pun di antara kekuatan imperialis secara langsung maupun proksiomal sama sekali tidak dapat dibenarkan. Karena
menyengsarakan rakyat di Ukraina dan menyeret krisis politik militer lebih luas dan memberi pengaruh
besar terhadap perekonomian dunia. Perang di Ukraina telah memasuki bulan ke delapan dan belum ada
tanda-tanda segera ada penyelesaian damai. AS-NATO semakin gencar menyokong Ukraina secara persenjataan militer,
ibarat memberi bahan bakar baru ditengah lautan api dan menjauhkan seluruh jalan penyelesaian damai.
Perang di Ukraina telah
melahirkan babak krisis baru yang memicu krisis energi dan pangan dunia, ketika AS-UE-NATO menerapkan berbagai bentuk
sanksi dan embargo terhadap ekonomi Rusia sebagai salah satu dari tiga negara besar produsen migas dan pangan dunia.
Krisis energi dan pangan tidak hanya dipicu
oleh terganggunya supply, namun telah menjadi senjata bagi AS dan Rusia untuk
mengeruk keuntungan besar dari
keruhnya situasi perng di Ukraina. AS mengambil keuntungan terbesar karena berhasil meningkatkan pasar baru bagi
penjualan persenjataan dan keuntungan besar tambahan dari penjualan
minyak dan gas alam cair (LNG)
ke benua Eropa.
Tidak hanya di Ukraina,
diplomasi luar negeri AS juga menciptakan bam api baru di Taiwan, yang mendapat reaksi hebat dari Tiongkok
sebagai balasan atas kunjungan ketua DPR AS dan delegasi AS lainnya. Tiongkok melancarkan latihan
militer besar-besaran mengepung pulau Taiwan dan menimbulkan bara panas di wilayah Indo-Pasifik. Hasilnya adalah
penjualan senjata AS terbaru ke pihak Taiwan
mencapai $ 1,1 milyar. Diplomasi luar negeri AS pada esensinya menuju langkah
untuk membawa krisis dunia ke arah
peperangan. Krisis umum dalam tubuh sistem kapitalisme monopoli dunia (imperialisme) ditandai dengan
meningkatkan derajat tindakan fasisme negara, teror, dan perang agresi
serta melahirkan berbagai
Kebijakan politik
penundukan terhadap bangsa, rakyat dan negara yang lebih lemah. Imperialisme dengan demikian telah menyatakan dirinya
dalam bentuk pertikaian, persaingan serta kekerasan bersenjata yang kejam. Pada saat yang bersamaan, krisis umum
imperialisme sekarang ini, juga meningkatkan
pertentangan yang berkelanjutan diantara kekuatan-kekuatan imperialisme dunia. terutama antara Imperialisme AS yang
sedang merosot dan tetap ingin mempertahankan kedudukan dan dominasinya di satu sisi dengan Imperialisme
Tiongkok-Rusia yang sedang bangkit dan menuntut pembagian ulang dunia
serta menginginkan perluasan pengaruh
ekonomi-politiknya.
Sementara
sosio-imperialisme Tiongkok terus mempromosikan skema kebijakan dan program
perluasan Belt and Road Iniative
(BRI) ke negeri-negeri terbelakang di kawasan Asia Tenggara, Asia Selatan, Asia Tengah, Uni-Afrika. Bersama dengan
Imperialisme Rusia, Tiongkok terus mempererat kerjasama pertahanan dan keamanan melalui perluasan Cooperative Shanghai
Organization (CSO) maupun Collektive
Security Treaty Organization (CSTO). Kekuatan imperialisme utama juga terus
meningkatkan anggaran militemnya,
melanjutkan pembangunan industri militer dan persenjataan teknologi tinggi, perlombaan senjata, dan dengan tidak
berperikemanusiaan mengambil keuntungan financial atas konflik bersenjata dan perang di berbagai kawasan di dunia
dengan cara meneruskan penjualan persenjataan militer.
Bangkitnya Tiongkok,
Rusia maupun gabungan keduanya, dalam kenyataannya belum sanggup menyamai dan mengungguli kedudukan
imperialisme AS-UE-NATO baik secara ekonomi, politik maupun militer. Imperialisme AS tetap merupakan
kekuatan imperialisme yang paling kuat dan berdominasi di dunia. Pertentangan diantara kekuatan
imperialisme itu bisa berkembang menjadi perang imperialisme, hanya jika memiliki kekuatan yang setara
secara ekonomi, politik dan militer dan ketika pertentangan yang timbul
sudah tidak dapat diselesaikan menurut cara-cara politik damai
Krisis ekonomi dan
tinggginya angka inflasi dunia sekarang tidak dapat dipisahkan dari krisis
persaingan hebat antara dua kekuatan
imperialis dunia yang tersebut di atas; tidak hanya mengguncang pasar energi din pangan dunia, namun juga kian
membangkrutkan ekonomi negeri negeri miskin terbelakang. Terlebih ketika Bank Sentral AS (The Federal Reserve) menaikkan
suku bunga dari 1,5 menjadi 1,75 pada bulan
Juni 2022, sebuah kenaikan terbesar sejak 1994, Kenaikan suku bunga The Fed
dipastikan akan terus terjadi
hingga 2023 yang semakin
menyengsarkan negeri. negeri
miskin bergantung.
Berdalih untuk mengatasi
tingginya angka inflasi di AS yang mencapai 7,8%, kenaikan suku bunga The Fed secara langsung tidak hanya memicu capital-flow
USD pulang ke negeri induknya, namun juga melemahkan
semua nilai mata uang dunia dan mengerek seluruh suku bunga utang negeri-negeri
miskin yang semuanya menggunakan
mata uang dolar AS, termasuk Indonesia terancam oleh membesamya defisit
APBN, menguras devisa dan mengeringkan keuangan negara.
Indonesia sebagai negeri
agraris miskin yang menggantungkan hidup sepenuhnya pada aliran investasi asing dan utang luar negeri, terseret
dalam pusaran krisis ekonomi tersebut. Sebagian besar industri manufaktur terbelakang di Indonesia
bergantung pada kapital asing, teknologi dan bahan baku using serta berorientasi eksport. Demikian
halnya dengan sistem perkebunan skala besar terbelakang di perdesaan, penghasil bahan baku mentah
murah seperti karet dan CPO sawit sebagai penopang industri asing. Sementara timbunan utang
pemerintah maupun swasta semakin menggunung, hingga Juli 2022 telah mencapai Rp 7.163,12 triliun (39.56%
dari total PDB).
Data inflasi Indonesia
bulan Agustus 2022 sebesar 4.69% yang disumbang oleh gejolak harga bahan makanan-minuman, cukai rokok, tarif
angkutan udara, maupun bahan bakar rumah tangga dan listrik. Namun angka inflasi ini akan semakin
melambung tinggi setelah Joko Widodo mengumumkan kenaikan harga
BBM pada tanggal
3 September 2022, meskipun harga minyak mentah dunia sedang
turun. Meskipun diiringi penggelontoran BLT sebesar Rp 24 triliun bagi rakyat
miskin di Indonesia, namun di tengah
perekonomian nasional yang belum pulih dampak pandemi covid 19, kenaikan BBM
sangat merugikan rakyat Indonesia.
Kenaikan harga BBM ibarat palu godam bagi rakyat Indonesia karena memukul seluruh ekonomi klas buruh, kaum
tani, pemuda mahasiswa, nelayan, pekerja angkutan kota, ojek online, pengusaha mikro, kecil, menengah, pedagang warteg,
kaki lima, dll. Harga-harga kebutuhan pokok
membumbung tinggi. Sejumlah perusahaan manufaktur kini mempunyai dalih baru
untuk melakukan PHK massal dan tidak memperpanjang kontrak kerja baru buruh.
Sebenarnya salah satu
program penting pemerintah Indonesia dari masa ke masa adalah pencabutan subsidi sektor publik yang merupakan
bagian dari Austerity program (program penghematan). Semua negeri bergantung diwajibkan menerapkan
kebijakan ini secara bertahap. Rakyat dipaksa untuk hemat, sementara pemilik negeri ini
menghambur-hamburkan uang rakyat untuk kepentingan diri dan tuan Imperialisnya.Subsidi BBM yang membengkak
di angka Rp502,24 triliun menjadi alasan klise kenaikan harga BBM tanpa mempertimbangkan opsi selain menaikkan harga.Di
sisi lain pemerintah Jokowi juga menyiapkan
uang “kadeudeuh” untuk nyuap rakyat melalui bantuan sosial. Bansos tahun 2022 mencapai
Rp24 triliun yang sebetulnya
sudah ditetapkan di awal tahun
2022 melalui kemensos.
Sementara BLT hanya untuk
meredam sesaat dan merangsang daya beli rakyat agar tidak semakin merosot seketika, terlebih bagi klas buruh
dan rakyat pekerja di perkotaan di tengah tidak adanya kenaikan upah buruh selama masa pandemi, maupun krisis di
perdesaan yang dialami oleh kaum tani dampak
perampasan tanah untuk Proyek Infrastruktur Strategis Nasional. Betiringan
dengan hal itu. Pendidikan terus
dijadikan sebagai lahan komersialiasi, liberalisasi dan privatisasi pendidikan
terus dipertahankan sehingga tidak
mengherankan bahwa angka terus menunjukkan kenaikan biaya pendidikan yang mencapai 10%-15% di
perguruan tinggi. AIA-Financial Indonesia yang merelase kenaikkan pertahun biaya pendidikan mencapai 20% petahunnya,
lebih-lebih pendidikan di Nusa Tenggara
Barat yang terus memperlihatkan tertutupnya akses rakyat terhadap dunia
penidikan akibat komersialiasi,
liberalisasi dan privatisasi dalam dunia pendidikan. Ditengah kenaikan biaya
pendidikan dan harga BBM, pemuda
mahasiswa secara mayoritas bahkan 99% menggunakan alat transportasi (motor) yang tentunya dapat mengakibatkan
uang saku/uang jajan, biaya hidup pemuda mahasiswa mengalami penurunan yang disebabkan harga
biaya bahan bakar minyak yang melambung tinggi. Seluruh masalah tersebut
hanya mampu diatasi dengan diwujudkannya Landreform Sciati Dan Industri Nasional.
Penulis : Gilang Sanjaya (mahasiswa Prodi Hukum Ekonomi Syariah Universitas Muhammadiyah Purwokerto)