Pada 16/09/2022, saya telah menemukan kapak genggam, pada
sebuah sudut pandang (pribadi) kapak ini –kurang lebih –mirip dengan kapak
genggam yang ditemukan oleh Gustav Heinrich Ralph von Koenigswald, pada 1935 di
Pacitan, Jawa Timur.
Tak sampai sana, saya juga memberikan narasi, atas kapak
genggam yang telah saya temukan. Narasi tersebut berbunyi: “Kapak Genggam yang
berasal dari Batu Kali “Semu”, ditemukan oleh Habibi K. A. F., tertanggal
(16/09/’22).”
(Foto diambil (21/09) oleh Habibi Khimas)
Pada lembaran lain; saya juga menulis sebuah narasi di
kertas lain – (yang saya tempel pada tembok indekos, milik Tuan Rumah Damiyati),
—berbunyi:
“Berasal dari sudut
pandang Habibi. Russel mengatakan bahwa “Kapak Genggam” yang ditemukan Habibi
tertanggal 16/09 adalah kapak genggam semu, karena pada kapak genggam tidak
bisa diperhatikan secara detailnya. Adapun, kapak genggam Habibi bisa dikatakan
“Nyata”, adalah karena pengalaman telah mengajarkan jika nyata berasal dari
bentuk semu, dan “Nyata” itu adalah kapak genggam yang dikatakan oleh orang
praktis. Sementara di sisi lain, Russel melihat kapak genggam Habibi dengan ia
menukil pernyataan Berkeley (1685-1753), bahwa Berkeley menganggap kapak
genggam Habibi adalah “Nyata” sebagai gagasan dalam pikiran Tuhan. Sekelebat,
ada Leibniz (1646-1716) yang masuk diingatan Russel, jika kapak genggam Habibi
adalah komunitas/koloni jiwa.”
(Foto diambil (17/09) oleh Habibi Khimas)
Selepas sudah, saya menulis berbagai narasi pada kapak
genggam (yang telah saya temukan). Saya ingat dengan Rene Descartes, pendiri filsafat
modern. “Aku berpikir, oleh karena itu Aku ada (Cogito, ergo sum),”ungkap
Descartes. Nampaknya dari ungkapan tersebut (Descartes) menemukan teori tentang
metode keraguan sistematis. Tetapi dari ungkapan itu, Betrand Russel memberi
peringatan bahwa beberapa kehati-hatian diperlukan dalam menggunakan argumen
Descates.
Saya di sini, akan meminjam metode keraguan sistematis untuk
menjelaskan kapak genggam yang telah saya temukan, atas dasar narasi yang saya
bangun pada kapak genggam (yang saya temukan) dan mengesampingkan peringatan
Russel terlebih dahulu. Maka sebelum itu, metode keraguan (Descartes) mengacu pada
ketidakpercayaan terhadap apa pun yang tidak bisa dilihat dengan cukup jelas
dan nyata sebagai kebenaran. Sehingga apa pun yang membuat ragu, akan
diragukan, sampai (Descartes) menemukan alasan untuk tidak meragukannya. Jadi
pada metode tersebut, (Descartes) menemukan tahap keyakinan yang ia yakini adalah
keberadaannya sendiri.
Dari pernyataan tersebut, saya mengingat, jika Russel (atas
sudut pandangnya) membeberkan argumen Descartes, bahwa Descartes membayangkan
iblis sang penipu yang menghadirkan hal-hal yang tidak nyata ke indranya dalam
sebuah fantasi abadi. Barang kali, tidak mungkin bila iblis seperti itu ada,
tetapi tetap saja, itu mungkin, dan oleh karenanya keraguan tentang hal-hal
yang ditangkap indra adalah mungkin.
Atas dasar tersebut, kapak genggam yang saya temukan, di
titik saat ini, mungkin sedang saya ragukan masa kejayaannya dengan menaruh didalam
fantasi abadi; atau barang kali kapak genggam yang saya temukan, tidak mencapai
masa kejayaan. Tetapi kembali pada metode keraguan sistematis, bahwa mungkin
(masa kejayaan) itu akan tejadi, ketika masa kejayaan bisa dilihat dengan jelas
dan sebagai kebenaran (semu).
Akhir-akhir ini, selepas saya menulis narasi dan membuat
keyakinan naluriah atas kapak genggam (saya). Ada faktor pendukung yang mulai
datang, kabar baik-nya, ketika teman-teman (saya) yang berkunjung ke indekos (saat
memandang Kapak Genggam) mengatakan, “Motivasimu apa bi (Habibi)?,”ungkap ketua
Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Agama Islam (DPM FAI). Adapun ungkapan
lain, “Semacam tidak ada kerjaan!” nampaknya pertanyaan dan pernyataan tersebut,
telah saya artikan dengan sesuatu yang subtil (2.a); perbedaan yang tidak
kentara; Saya mengingat sebuah pernyataan, bahwa seorang Ilmuwan akan diragukan
atas penemuannya.
Kemungkinan ada yang luput –dipikiran teman-teman saya –bahwa
suatu benda dikatakan berharga atau bernilai, ketika benda tersebut memiliki
nilai (value). Sementara hadirnya value berasal dari narasi yang dibangun
oleh penemunya. Maka tugas tersebut, telah saya laksanakan.
Saya jadi teringat dengan Penyihir Terakhir (The Last
Sorcerer), Isaac Newton, yakni tentang “Newton dan Pohon Apel” yang
diyakini sebagai mitos populer. Bahwa sebuah apel yang terjatuh dan mengenai
Newton telah membawanya ke teori gravitasi. Namun, sejarawan ragu akan hal
tersebut. Lantas, mengapa kisah itu bisa menjadi mitos populer yang berkembang
bersama Newton? Ternyata kisah tersebut adalah anekdot yang nampaknya
diceritakan oleh Newton (itu sendiri).
Sebagaimana yang ditulis Patricia Fara, Sejarawan Sains di
Universitas Cambridge, “Menjelang hayatnya, Newton menceritakan anekdot apel
sebanyak empat kali, meskipun, baru menjadi terkenal di abad kesembilan belas.”
Atas hal itu, saya yakin kapak genggam akan menemui masa
kejayaan-nya. Meminjam diktum Descartes, “Cogito, ergo sum” dan menggubah
berdasarkan asumsi (pribadi), “Aku yakin, maka akan mungkin (Certus sum,
tunc erit possibile).”
Mungkin pada akhirnya, saya akan merujuk pada argumen Russel.
Buku Russel (1912), The Problems of Philosophy, pada akhir paragraf
(hal.44), “... Siapa pun yang ingin menjadi filsuf, harus belajar untuk tidak
takut dengan absurditas.”
Maka kali ini, saya sedang tidak takut, atas narasi yang
telah saya bangun mengenai Kapak Genggam.
Penulis:
Habibi
Khimas Alhusni Fatarrudin, sekarang tengah menempuh studi strata satu semester
tujuh di Universitas Muhammadiyah Purwokerto Fakultas Agama Islam, Program Studi Pendidikan Agama Islam. Pengalaman organisasi
di kampus sebagai Pimpinan Redaksi (2022-2023) pada Unit Kegiatan Mahasiswa LPM
Bhaskara.
keraguan yang membingungkan atau ragu-ragu dalam kebingungan
BalasHapus