Pada saat ini banyak sekali peraturan pemerintah yang membuat
masyarakat “geleng kepala”, karena dirasa pemerintah tidak memperhatikan
kondisi masyarakat yang belum pulih secara keseluruhan setelah bangkit dari
pandemi. Sudah menjadi rahasia umum bahwa masyarakat beranggapan bahwa
kebijakan yang dibuat pemerintah selalu merugikan masyarakat, namun mensejaterahkan
para pejabat negara. Hal tersebut selalu menggiring opini masyarakat bahwa
pemerintah selalu tidak berpihak pada rakyat, akan tetapi selalu memperkaya
“diri sendiri” (pejabat negara). Oleh karena itu, masyarakat selalu kontra
terhadap setiap kebiajakan yang dikelurkan oleh pemerintah, terutama yang
berkaitan dengan permasalahan ekonomi negara.
Pemerintah selalu mengeluhkan penggunaan APBN (Anggaran Penerimaan
dan Belanja Negara) yang dirasa berlebihan, sehingga perlu adanya penekanan
atau pengurangan dalam penggunaannya. Namun, hal tersebut tidak sesuai dengan
Kebijakan yang baru saja direncanakan oleh pemerintah yang didasari oleh
intruksi presiden Nomor 7 Tahun 2022 tentang Penggunaan Kendaraan Bermotor
Listrik Berbasis BEV (Battery Electric Vahicle) sebagai Kendaraan Dinas
Operasional dan/atau Kendaraan Perorangan Dinas Instansi Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah. Dimana menurut para pengamat ekonomi Indonesia, pendanaan
untuk pembeliaan subsidi mobil listrik ini kemungkinan besar akan menggunakan
dana APBN, hal ini mengacu pada intruksi presiden Nomor 7 tahun 2022 yang
menyebutkan bahwa sumber dana pemiayaan mobil listrik yaitu APBN, APBD, dan
sumber lain sesuai undang-undang. Hal tersebut tentu saja bertentangan dengan
tujuan pemerintah yang ingin menekan penggunaan APBN.
Namun, apabila pembiayaan menggunakan dana APBD, pemerintah juga
harus mempertimbangkan APBD setiap daerah karena ada daerah yang dana APBD nya sudah cukup besar dan masih ada dana
sisa untuk akomodasi pembiayaan mobil listrik, akan tetapi ada juga daerah yang dana APBD nya masih cukup kecil sehingga
membutuhkan support dana dari pemerintah pusat. Dari sini dapat dilihat bahwa
pembiayaan untuk pengadaan mobil listrik ini akan memberatkan daerah yang APBD
nya masih rendah. Maka, apabila APBD dipergunakan untuk pembiayaan pengadaan
mobil listrik sepertinya kurang tepat, karena seharusnya dana tersebut dapat
dipergunakan untuk membangun infrastruktur daerah tersebut.
Reaksi masyarakat setelah mengetahui kebijakan tersebut tentu saja
sudah bisa ditebak, masyarakat langsung menyuarakan pendapatnya yang memenuhi
kolom komentar media sosial yang menyatakan bahwa mereka keberatan akan
kebijakan yang direncakanakan tersebut. Hal tersebut dikarenakan awal bulan ini
pemerintah baru saja mengumumkan kebijakan kenaikan harga BBM bersubsidi yang
memberatkan masyarakat. Padahal, kenaikan harga BBM tersebut bertujuan untuk
meringankan pengaluaran apbn. Maka,
tentu saja dengan adanya kebijakan subsidi mobil listrik tersebut sangat
kontradiktif dengan tujuan pemerintah karena pembiayaan mobil listrik ini akan
menggunakan dana APBN. Bagaimana bisa
harga BBM dinaikan , akan tetapi pemerintah malah ingin memberikan subsidi
mobil listrik kepada pejabat menggunakan dana APBN. Maka dari itu, pemerintah
perlu mengkaji atau memperhatikan kesiapaan dana terlebih dahulu untuk
menjalankan rencana kebijakan ini karena kebijakan ini harus mendapatkan
dukungan dari skateholder dan semua lapisan masyarakat.
Permasalahan subsidi mobil listrik ini bisa dilihat dari dua sisi
yaitu jangka pendek dan jangka panjang. Menurut ahli, pengaruh jangka pendek
dari adanya kebijakan ini bahwa kebijakan pengurangan subsidi BBM dan
penambahan investasi pada kendaraan listrik dirasa tidak adil bagi rakyat,
apalagi masyarat masih kontra walupun telah diberikan kompensasi kenaikan
melalui bantuan langsung tunai (BLT), hal tersebut menunjukan bahwa masyarakat
tidak lagi percaya dengan keefektivitasan kebijakan BLT. Sedangkan, jika
dilihat dari jangka panjang menunjukan bahwa kebijakan pengurangan BBM dan
investasi di teknologi bersih seperti kendaraan listrik adalah kebijakan yang
dianggap tepat. Diluar dari permasalahan pendanaan, kebijakan ini akan
berdampak positif terhadap neraca ekspor-impor di masa datang, karena impor BBM
masih cukup besar sehingga dengan adanya elektrifikasi kendaraan ini adalah
salah satu cara untuk mengurangi penggunaan BBM. Namun, perlu diingat bahwa
transisi energi memang membutuhkan peralihan finansial dari subsidi pada bahan
bakar berbasis fosil ke investasi energi dan teknologi yang lebih bersih dan
berkelanjutan.
Disisi lain, walaupun anggaran penyediaan mobil listrik dinas ini
telah dialokasikan, ada kemungkinan keuangan atau bujet untuk mengakomodasikan
kebijakan ini akan melonjak, terutama untuk menyediakan sarana dan prasarana
untuk menunjang kebutuhan dari operasi kendaraan listrik ini. Sehingga yang
menjadi pertanyaan disini, yaitu apakah pemerintah akan mampu menerapkan
program perpindahan ke kendaraan listrik dengan cepat dan murah. Hal ini
didasarkan bahwa wacana pemerintah untuk mengurangi penggunaan BBM dengan
melakukan perpindahan ke kendaraan berbahan bakar gas sejak lebih dari satu
dekade lalu tidak kunjung menunjukan hasil yang jelas.
Salah satu infrastruktur yang utama untuk menunjang kebutuhan
perpindahan ke kendaraan listrik yaitu pembangunan Stasiun Pengisian Kendaraan
Listrik Umum (SPKLU). Dilihat secara umum, pemerintah belum mempunyai strategi pembangunan SPKLU yang
jelas. Startegi tersebut seharusnya mencakup banyak hal, bukan hanya sekedar
jumlah fasilitas dan waktu pembangunannya, akan tetapi juga bagaimana
penyebaran secara ruang dan wilayah dan pembiayaan dan tentu saja kebutuhan
tersebut membutuhkan dana yang sangat besar. Maka, jika dilihat dari kesiapan
insfrastruktur Indonesia untuk menghadapi perubahan ke kendaraan listrik di
nilai hanya akan memboroskan dana APBN, hal ini dikarenakan akan banyak dana
yang akan dikeluarkan untuk membangun kebutuhan penunjang kendaraan listrik.
Permasalahan lain yang kemungkinan besar akan muncul yaitu
permasalahan impor mobil listrik. Seperti yang diketaui bahwa di Indonesia
sendiri belum mampu atau belum adanya perusahaan yang memproduksi mobil listrik
yang diakui oleh negara, sehingga pengadaan mobil listrik ini harus impor dari
negara lain. Tentu saja hal ini akan membuat Indonesia sebagai incaran untuk
menjadi “pasar” impor mobil listrik dan Indonesia akan ketergantungan terhadap
negara lain. maka dari itu, seharunya pemerintah harus lebih fokus untuk
membangun sistem ekonomi industri di Indonesia, seperti mengadakan kerja sama
dengan amerika untuk membangun pabrik mereka di Indonesia, sehingga akan
berdampak pada harga mobil listrik yang bisa dijangkau oleh masyarakat, karena
apabila tidak seperti itu harga mobil listrik masih kategori mahal dan
masyarakat akan sulit untuk beralih menggunakan mobil listrik karena harganya
yang sangat mahal.
Selain itu, dari adanya kebijakan ini memang menjadi salah satu upaya pemerintah untuk mengajak masyarakat
untuk beralih ke kendaraan listrik. Namun, perlu dipertimbangkan bahwa
masyarakat masih belum teredukasi menggunakan mobil listrik, karena masyarakat
masih awam tentang elektrifikasi. Pemerintah juga harus memastikan bahwa
100% rumah tanga sudah dialiri listrik,
karena itu adalah kunci utama untuk penggunaan kendaraan listrik. Harga mobil
listrik pun masih terbilang mahal di Indonesia dibandingkan dengan mobil
standar non listrik. Sehingga, dimungkinkan membutuhkan waktu yang lama untuk
mendorong masyarakat beralih ke kendaraan listrik dilihat dari perekonomian
masyarakat Indonesia yang masih minimum.
Apabila kita bandingan dengan negara maju yang sudah akrab dengan
penggunaan mobil listrik, salah satu cara untuk membuat masyarakat tertarik
untuk membeli mobil listrik yaitu dengan memberikan subsidi harga jual. Karena
dengan memberikan subsidi tersebut, masyarakat akan menganggap diuntungkan
ketika mereka beralih menggunakan mobil listrik. Namun, menurut beberapa pakar
bahwa pemberian subsidi harga jual tersebut akan sulit untuk diterapkan di
Indonesia mengingat masih banyak prioritas yang perlu dilakukan, seperti bidang
kesehatan, pendidikan, insfrastruktur dan lainnya.
Kebijakan ini merupakan terobosan pemerintah dalam upaya untuk
menggalakan penggunaan kendaraan listrik berbasis baterai skala nasional. Hal
ini memang sejalan dengan keinginan pemerintah untuk mengurangi ketergantungan
pada bahan bakar minyak (BBM) yang selama ini dibebankan neraca perdagangan dan
Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN), serta ini merupakan target untuk
mengurangi emisi karbon karena kendaraan listrik dianggap lebih ramah
lingkungan. Namun, tentu saja kebijakan ini tidak bisa diterima secara
mentah-mentah karena pemerintah harus menimbang banyak faktor diantaranya yaitu
persoalaan pendanaan, infrastruktur, hingga kemungkinan melonjaknya harga batu
bara yang masih jadi sumber energy utama kelistrikan Indonesia.
Pada dasarnya kebijakan ini didasarkan atas potensi besar yang dimiliki
oleh Indonesia. Menurut Presiden, 60% komponen mobil listrik kuncinya ada di
baterainya. Indonesia memiliki cadangan untuk membuat komponen utama mobil
listrik, yaitu baterai tersedia melimpah di Indonesia. Oleh sebab itu, Presiden
berharap strategi bisnis tentang pengembangan mobil listrik di negara ini harus
segera dimulai dan dapat dirancang dengan baik yang murah dan kompetitif dengan
negara lain. Namun, kita juga harus melihat secara realita bahwa masih banyak
kekurangan yang harus dipenuhi untuk menunjang penggunaan mobil listrik dan
tentu saja akan membutuhkan waktu yang lama untuk merealisasikan hal tersebut.
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa kebijakan
pemerintah untuk memberikan subsidi mobil lisrik untuk pejabat masih kurang
tepat. Hal tersebut karena adanya beberapa faktor yang harus dipenuhi untuk
menunjang kebijakan tersebut seperti dana yang belum jelas, infratruktur yang
masih belum memadai,permasalahan impor, harga mobil yang masih sangat mahal,
sumber energi yang akan digunakan. Namun, kebijakan ini perlu di apresiasi
karena ini adalah salah satu upaya pemerintah untuk lebih ramah lingkungan dan
mengurangi penggunaan bahan bakar minyak, walaupun masih akan membutuhkan waktu
yang cukup lama untuk merealisasikannya.
Penulis : Mutiara Jati
Abdawiyah (Mahasiswa Prodi Hukum Ekonomi Syariah Universitas Muhammadiyah
Purwokerto)