Kampus-1 UMY medio 1995. Sebuah tawaran datang dari Pak Dasron, Rektor UMY. Sebagai dosen baru, aku diminta menjadi pembina asrama mahasiswa UMY, lebih dikenal dengan nama Padepokan Almanaar. Pembina sebelumnya, Pak Yamin (kini Ketua MPM PPM), pindah segera setelah memiliki rumah sendiri di Tamantrito. Pak Yamin sendiri sebelumnya menggantikan Pak Musthafa Kamal Pasya yang melakukan hal yang sama setelah memiliki rumah sendiri di Wirobrajan.
Aku tidak langsung menerima tawaran
ini. Almanaar berada di ujung jembatan dan di tepi sungai. Ini kawasan pinggir
kali (girli) yang banyak dicitrakan tidak nyaman secara fisik maupun sosial.
Sehingga tidak bagus untuk keluarga dengan anak kecil yang masih dalam masa
pertumbuhan. Karena itu, aku memerlukan pendapat istriku.
Di luar dugaan, istriku malah senang
dengan tawaran ini. Katanya, dia selalu siap untuk tinggal di mana saja
selagi bersamaku. Meskipun di pinggir kali. Maka aku menerima tawaran Pak
Rektor dan ini menjadi awal dari irisan sejarah perjalanan hidupku dengan Anjar
Nugroho yang menjadi inspirasi dari tulisan ini.
Padepokan Almanaar berada di kawasan
girli dalam arti sesungguhnya. Kawasannya berbentuk ledok, dataran di bawah
permukaan jalan raya dan berada di tepi sungai. Lantai atas Masjid
Daarussalaam, bangunan paling depan dari Almanaar, sejajar dengan jalan raya
dan lantai bawahnya sejajar dengan kompleks asrama Almanaar.
Tetapi, Almanaar berada di lokasi yang
sangat strategis. Secara resmi, Almanaar beralamatkan di Jln. KHA Dahlan Nomor
152 Jogja. Alamat yang keren bukan? Jln KHA Dahlan adalah jalan protol yang
merupakan jalan masuk utama ke pusat kota Jogja dari arah barat. Lokasi ini
mudah dijangkau.
***
Beberapa jalur bis kota melewati jalan
ini dari arah barat menuju ke timur dan sebaliknya. Sebuah pasar berada
di seberang sungai dari asrama ini. Lokasi ini juga hanya sekitar satu km dari
kampus UMY Wirobrajan dan hanya sekitar 400 m dari kantor PP Muhammadiyah, Jln
KHA Dahlan 103 Yogyakarta. Dan dari Malioboro, Almanaar hanya berjarak sekitar
satu kilometer.
Secara sosial lingkungan, Almanaar bisa
dibagi dua. Bagian belakang dan bagian depan. Bagian belakang yang merupakan
bagian barat dari masjid dan asrama adalah pinggir Kali Winongo, salah satu
sungai yang membelah kota Jogja. Belum ada talud sungai saat itu. Sepanjang
tepi sungai yang lumayan curam dari ujung utara sampai kolong jembatan di ujung
selatan, ditumbuhi rumput dan pohon liar.
Pohon randu alas besar yang menjulang
tinggi menambah kesan kumuh kawasan ini. Lokasi ini terpisah dengan pemukiman
penduduk. Maka, ini menjadi tempat ideal bagi para tunawisma yang datang dan
pergi mengadu nasib di seputar Jalan KHA Dahlan, Alun-alun Utara, dan Jalan
Malioboro.
Bila malam mulai larut, di belakang
tembok rumah, sering terdengar suara beberapa orang bercengkerama. Mereka
adalah gelandangan, pengemis, orang gila, dan kadang beberapa WTS. Mereka
melepas penat dari beratnya kehidupan. Kolong jembatan dan sungai menjadi
anugerah alam yang mereka manfaatkan untuk pemenuhan kebutuhan pokok sebagai manusia
yaitu MCK.
Sedangkan bagian depan Almanaar
merupakan bagian dari suasana kampung kota. Almanaar bagian dari RT 12 RW 2
Kelurahan Ngampilan Yogyakarta. Aku dekat dengan masyarakat karena menjadi
pengurus kampung sebagai sekretaris RW, mendampingi Pak Kasiman tetangga
sebelah yang menjadi ketuanya. Semakin masuk ke dalam aktivitas sehari-hari di
kampung ini, aku merasakan suasana yang bertolak belakang dengan bagian
belakang dari Almanaar yang kumuh itu.
***
Kehidupan bersama berjalan sangat
nyaman. Ada begitu banyak aktivitas yang mengikat kami dalam kebersamaan sebagai warga RW-2. Pada sore
hari, misalnya, kami terbiasa main bola plastik di lapangan badminton yang ada
di bagian depan asrama. Puluhan warga tumpah ruah di lapangan kecil ini.
Anak-anak, remaja, dewasa, dan orang tua. Pada hari minggu dengan menaiki
belasan sepeda motor kami konvoy menuju kawasan pedesaan di tepi barat kota
Jogja.
Kami mencari lapangan sepakbola yang
kosong. Jika satu lapangan dipakai orang lain maka kami melanjutkan konvoy
mencari lapangan lain. Di sana kami main bola dengan penuh gembira. Kegembiraan ini sering ditutup dengan makan
soto bersama. Kami sangat rukun meski beragam dari dari sisi status sosial,
agama, ideologi, maupun afiliasi politik praktis. Kerukunan warga RW-2 ini
belakangan menjadi insiprasi dari tesis ketika aku menyelesaikan studi pasca
sarjanaku.
Almanaar, dikenal masyarakat sekitar
sebagai PKO. Sebutan lainnya adalah Rumah Miskin. Konon lokasi ini awalnya
merupakan tempat penampungan orang-orang tidak mampu sebagai bagian dari amal usaha Majelis PKO. Seiring dengan berjalannya
waktu, gedung tua ini berubah fungsi menjadi asrama siswa Madrasah Muallimin
Muhammadiyah Yogyakarta. Pak Mustofa menjadi pembina asramanya. Aku tidak tahu
persis sejak kapan asrama Muallimin berubah menjadi asrama mahasiswa UMY.
Walau mengalami berbagai perubahan
fungsi, secara fisik bangunan Almanaar tidak banyak berubah. Bangunan utama
berupa rumah lantai satu yang memanjang dengan ukuran sekitar 30x10m2. Ini merupakan sisa-sisa bangunan lama yang
mungkin dibangun pada zaman kolonial Belanda dan tidak banyak mengalami perbaikan.
Maka sebagian temboknya sudah keropos, gentingnya tambal sulam, sebagian kamar
mandinya belum lagi menggunakan keramik. Hanya Masjid Daarusalaam yang
merupakan tampak wajah dari kompleks ini dari jalan raya merupakan bangunan
baru.
***
Pada periode 1995-2003, aku sekeluarga
tinggal di KHAD 152 ini. Awalnya sebagai pembina asrama mahasiswa UMY, memenuhi
permintaan Pak Dasron sebagaimana aku ceritakan di atas. Seiring dengan
perkembangan kampus UMY, aku mengajukan proposal revitalisasi asrama ini ke
UMY. Proposalku tidak disetujui. UMY akan segera menempati kampus baru
yang tidak lagi dekat dengan Almanaar.
Sehingga, Almanaar kehilangan daya
tarik. Beberapa mahasiswa UMY masih tinggal di sini menyelesaikan sisa-sisa
waktu kuliah mereka. Almanaar kemudian secara resmi dikembalikan UMY ke PP
Muhammadiyah sebagai pemilik sah seluruh asset persyarikatan. Tetapi, aku tetap
tinggal di Almanaar. Aku ditunjuk sebagai penanggungjawab lokasi. Untuk ini,
sebuah surat tugas resmi yang ditandatangani oleh Buya Syafii sebagai ketua
umum dan Bang Haedar sebagai sekretaris umum aku terima dari PP Muhammadiyah.
Selanjutnya, selama tinggal di
Almanaar, secara bertahap aku melakukan penataan lokasi. Sertifikat tanah
berhasil diperoleh dengan melibatkan Pak Parto dari Majelis Wakaf PDM Kota
Jogja. Jalan akses dari tepai jalan menurun ke asrama diperlebar sehingga
halaman depan Almanaar bisa diakses kendaraan roda empat.
Tanah lapang di depan asrama dirapikan
menjadi lapangan badminton dan yang lebih sering digunakan sebagai arena main
bola plastik. Jalan akses warga kampung dari utara asrama menuju Jalan
Ahmad Dahlan dipindahkan ke belakang atau bagian barat asrama. Kekumuhan tepi
sungai mulai berkurang karena sudah menjadi jalan setapak yang dilalui warga
sehari-hari. Selajutnya juga, dibangun tembok keliling asrama yang membuat
suasana asrama menjadi semakin nyaman.
Untuk mengoptimalkan kemanfaatan, aku
mengambil beberapa langkah. Setelah asrama mahasiswa UMY resmi ditutup,
kamar-kamar Almanaar sepi penghuni. Apalagi setelah mahasiswa penghuni lama
menyelesaikan studi mereka. Untungnya, aku sudah mulai sering beraktivitas di Gedoeng
Moehammadijah yang menjadi pusat aktivitas persyarikatan yang berada tidak
terlalu jauh dari Almanaar.
***
Aku menjadi salah satu pengurus Majelis
Pustaka dan kemudian berlanjut menjadi pengurus Majelis Tabligh. Di gedung ini,
aku berinteraksi dengan beberapa anak muda yang menjadi pengurus IPM/IRM. Dari
mereka aku tahu, bahwa BINA MENTARI, lembaga bimbingan konseling khusus remaja
yang dikelola oleh PP IRM, sedang mencari rumah kontrakan.
Kebetulan, masa kontrak rumah BINA
MENTARI di Jalan Nyai Ahmad Dahlan waktu itu selesai. Aku mempersilahkan BINA
MENTRI bergabung ke Almanaar. Bersama Bina Mentari ini juga diikuti oleh salah
satu unit usaha (?) milik PP IRM berupa penerbit yang dipimpin oleh Mas
Adim.
Seiring dengan berjalannya waktu,
Al-Manar menjadi semacam basecamp IRM. Beberapa pengurus IRM
mengisi kamar-kamasr kosong Al-Manar. Mereka adalah para pengurus Pimpinan
Pusat IRM. Artinya, mereka adalah aktivis tingkat nasional. Tentu kapasitas dan
mobilitas mereka sangat tinggi.
Kehadiran mereka aku berdayakan untuk
membina masyarakat sekitar, khususnya pengajian anak-anak. Mereka juga sering
menjadi khatib di Masjid Darussalam. Meski mereka menjadi anak asrama dan aku
menjadi semacam bapak asrama, interaksiku dengan mereka tidak teralu intensif.
Ini karena kesibukan kami masing-masing.
Karena selisih usia kami tidak begitu
jauh, maka hubungan kami lebih sebagai kakak dan adik. Di antara mereka adalah
Iman Nurdin, Denny Ramdhani, Ajun Khamadani, dan Anjar Nugroho. Sesekali Izzul
Muslimin ketua PP IRM waktu itu datang bersama beberapa temannya. Kami main
badminton bersama.
Selanjutnya, aku melanjutkan sinergi
pemanfaatan Almanaar dengan melibatkan Aisyiyah Ranting Ngampilan. Aisyiah
Ngampilan waktu itu memiliki satu program sangat inovatif dan strategis yaitu
Taman Penitipan Anak Nuraini. Setelah tiga tahun berjalan, TPA Nuraini terusir
dari tempat kontrakannya. Aku mempersilahkan Nuraini bergabung ke Al-Manar.
Berikutnya, TK ABA Ngampilan yang berada agak jauh di dalam kampung dan
kehabisan murid juga ikut bergabung di Almanaar.
***
TPA dan TK ini ditambah dengan
playgroup kemudian digabungkan menjadi satu lembaga dengan nama PAUD Aisyiyah Nuraini. Karena dikelola dengan
fokus dan serius, lembaga ini berkembang pesat. Ia ditetapkan oleh Direktorat
PAUD Pusat menjadi PAUD Unggulan DIY. Pada 2003, seluruh ruang yang ada di
Almanaar sudah digunakan oleh Nuraini.
Pada suatu masa, tidak cukup lagi ruang
yang ada di Almanaar untuk menampung animo masyarakat yang ingin menitipkan anak mereka. Dahsyatnya lagi,
Nuraini berhasil membeli lahan baru di bagian lain kampung Ngampilan di Jalan
Supraprto. Lokasi ini menjadi Kampus-2 NURAINI. Tanah senilai sekitar 1M ini
dibeli Aisyiyah Ranting Ngampilan tanpa meminjam uang ke pihak ketiga. Bagian
dari lahan yang dibeli Nuraini ini adalah rumah kontrakan yang beberapa tahun
sebelumnya “mengusir” Nuraini. Alhamadulillaah.
Pada 2003 aku keluar dari Almanaar.
Mengikuti jejak Pak Yamin dan Pak Mustofa aku meninggalkan “rumah dinas”
ini karena sudah bisa menghuni rumah sendiri. Seiring berjalannya waktu,
Padepokan Al-Manar yang
bertransformasi menjadi PAUD Nuraini terus berkembang. Bagian belakang sudah
bersih dan rapi seiring program taludisasi dari pemkot Jogja. Pohon randu alas
yang menjulang tinggi sudah lama tumbang. Lampu jalan dan jembatan yang terang benderang,
mengusir gelap pinggir kali Winongo.
Suasana girli yang kumuh tidak ada lagi
kini. Para pengemis, gelandangan, orang gila, dan WTS yang sering bergerombol
di sana hilang entah kemana. Buku sejarah Almanaar tamat dan berganti dengan
sejarah Nuraini. Para mantan penghuni Almanaar, anak-anak muda potensial itu
telah sampai pada masa depan, meraih mimpi-mimpi mereka. Ada yang menjadi
pegawai, guru, direktur, wiraswatawan, anggota DPRD, bahkan rektor.
***
Tamantirto, pinggir kota Jogja, Selasa
15 Desember 2020. Udara pagi musim penghujan Jogja terasa sangat sejuk.
Sebagaimana biasanya salah satu aktivitas pagi hariku adalah membuka hape.
Perasaanku tiba-tiba tidak enak. Sebuah berita duka menyergapku di berbagai
grup WA.
Innalillahi
wainna ilaihi roji’uun.
Berita duka telah meninggal dunia bapak rektor UMP Dr. Anjar Nugroho, M.Si.,
MHI hari ini selasa, 15 Desember 2020 jam 04.05 di RS Kariadi Semarang. Mohon
doanya semoga husnul khotimah dan keluarga yg ditinggal diberi kesabaran,
ketabahan, dan keihlasan. Aamiin.
Mataku nanar mengetahui salah satu
sahabat terbaik berpulang. Meski kali ini tidak terkait dengan pandemi
Covid-19. Anjar mengingatkanku pada Almanaar. Pada anak-anak muda aktivis
potensial. Pada masanya, Almanaar telah mengambil peran dalam sejarah hidup mereka.
Almanaar, dan berbagai padepokan sejenis lainnya di Jogja menjadi tempat
menapak dari perjalanan panjang para elang sebelum mereka terbang menembus
angkasa.
Sebagian dari mereka kini pergi tanpa
jejak. Sebagian masih memelihara silaturrahmi, khususnya di dunia maya.
Kebiasaan semasa menjadi aktivis yang tidak mengenal lelah menjadi habit mereka
dalam menekuni profesi masing-masing.
Kadang mereka lupa dengan usia yang
semakin menanjak. Kini mereka sudah menjadi tokoh di bidang masing-masing.
Salah satunya adalah Anjar Nugroho. Dalam usia muda dia diangkat menjadi rektor
sebuah perguruan tinggi yang berkembang pesat, Universitas Muhammadiyah
Purwokerto.
Sejak dua puluh empat jam sebelum
taqdir menjemputnya, Anjar Nugroho tidak cukup istirahat. Berbagai agenda
menyita energinya sejak Ahad malam. Senin setelah berbuka puasa, dia menuju
Semarang dan baru bisa istirahat setelah lewat tengah malam. Selasa recananya
dia akan bertemu Gubernur Jateng dan
Pangdam IV Diponegoro. Menjelang Shubuh, serangan jantung mengawali
perjalannya menuju ke haribaan Allah SWT.
Anjar Nugroho seorang aktivis,
organisatoris, dan pekerja keras yang baik. Itu menghantarkannya pada
keberhasilan. Meski sudah menjadi orang nomor satu, dia tetap hidup sederhana.
Dia selalu menyambut hangat ketika bertemu kawan-kawan lamanya. InsyaAllah itu
menjadi bagian dari amal saleh yang menjadi bekalnya menuju alam keabadian.
Sebagai sahabat, khususnya pada periode di Almanaar aku bersaksi untuk
itu. Yarhamukallaahu Mas Anjar Nugroho.
Penulis : Mahli Zainuddin Tago (Ketua Lazismu PP Muhammadiyah)
Editor: Yahya FR
Dimuat di : IBTimes (klik)