Menghabiskan masa kanak-kanak di lingkungan NU, sementara beranjak dewasa di lingkungan Muhammadiyah, membuat saya kadang-kadang merasa mengalami krisis identitas saat melakukan amalan-amalan ibadah. Suatu ketika duduk di bangku sekolah dasar (SD) kelas 6, saya pernah ditanya salah seorang teman.
“Kamu NU atau Muhammadiyah?” tanya teman saya.
Sebagai anak polos yang waktu itu belum mengetahui perbedaan NU dan Muhammadiyah, saya merasa asing dengan pertanyaan itu.Karna yang saya tau Semua orang di lingkungan saya mayoritas islam tidak mengetahui spesifikasi tentang Muhammadiyah atau pun Nu. Saat itu, saya sempat berpikir kalau saya bodoh sekali tidak bisa mengerti pertanyaan semacam itu. Dari pertanyaan teman saya yang membuat saya penasaran, maka saya bertanya ke ibu.
“Bu, kita NU atau Muhammadiyah?” dan, ibu saya menjawab itu adalah pertanyaan yang tidak perlu dijawab. Hal ini justru membuat saya semakin tidak mengerti. Namun, alasan ibu menjawab demikian karena sejak mula ibu saya tidak menyematkan identitas dirinya atau pun keluarganya. Akhirnya selama di usia sekolah, saya juga tidak merasa jadi bagian dari salah satunya.
Barulah ketika memasuki Sekolah Menengah Atas atau SMA ,Yaitu saya bersekolah di SMA AL IRSYAD yang mayoritas Muhammadiyah,saya mulai menyadari bahwa selama itu saya tinggal di lingkungan NU. Salat Subuh pakai doa qunut, kalau malam Jumat ikut ngaji yasin bareng teman-teman, teman lelaki saya juga banyak yang menjadi penabuh hadroh, dan saya merapal doa iftitah pakai kabiro. Saya hanya sebatas mengerti bahwa begitu cara seorang muslim beribadah. Sampai ternyata di lingkungan SMA saya menggunakan lain yang mengamalkannya dengan cara berbeda.
Seperti beberapa hal saya temui dan baru saya pahami tentang tatacara sebelum sholat sampai dengan tatacara pada saat sholat yang terlihat banyak perbedaannya,seperti tatacara sebelum sholat berdiri harus merapatkan sof dengan kaki jari kelingking menempel pada kelingking orang yang di samping kita ,kemudia mengucapkan niat yang tanpa di ucapkan yaitu kata “usholli” itu hanya perlu dengan hati atau pun niat untuk melaksanakan sholat itu sudah cukup.
Kemudian beberapa bacaan sholat yang pada Muhammadiyah tidak ada kata sayyidina,dan menggunakan “allahumma baid baina”lalu bacaan pada saat I’tidal yaitu Sami’allaahu liman hamidah. Rabbanaa wa lakal hamdu hamdan katsiran thayyiban mubaarokanfiih, Kemudian Sujud yaitu Subhaanakallahhumma rabbanaa wa bihamdikallahummaghfirlii,dan yang saya kaget pada Gerakan pada saat membaca dao Tasyadud akhir yang mana di tengah bacaan telunjuk yang di keluarkan saya liat ada beberapa teman teman saya pada saat saya sholat berjamaah di SMA yang mayoritas Muhammadiyah telunjuk mereka bergerak-gerak ,dan suatu selesai sholat saya sempat tanya kepada salah satu dari mereka
”Maksud dari gerakan telunjuk itu mengisyaratkan apa si?” Salah satu dari mereka menjawab itu “menandakan mengusir dari jin atau syetan yang ada di depan,dan ada lagi beberapa Gerakan yang membuat saya penasaran seperti takbir yang mana tangan di putar sebelum di letakan di atas pusar.Membuat saya krisis identitas dan membuat banyak pertanyaan di benak saya jadi Gerakan mana yang paling tepat dari semua Gerakan yang pernah saya lihat di lingkungan pada saat SMA dan sampai sekarang.
Sampai sekarang Saya berkuliah di Muhammadiyah Purwokerto (UMP) dengan mengambil jurusan Hukum Ekonomi Syariah ,Fakultas Agama Islam dan pada salah satu orientasi mahasiswa baru adalah dengan mengikuti kegiatan MASTA yaitu Massa Taaruf yang mana di panitiai oleh IMM yaitu Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah. Di sanalah saya mengamalkan Islam dengan cara Muhammadiyah secara kafah. Sekaligus menjadi titik saya menyadari kalau sebelumnya saya menjalani hidup dengan prinsip-prinsip NU. Krisis identitas yang saya alami seperti pada saat pembukaan MASTA. Saya merasa di situ sayalah yang paling tidak mengerti tentang lagu atau mars Muhammadiyah yang mereka putar, yang lain bernyanyi secara lantang saya hanya membuka mulut tanpa tahu nadanya,yang penting ikut berkontribusi,
Di masa perkuliahan saya, satu persatu paham berbagai madzab atau amalan beribadah.Dan jujur saya anggap hanya bergeser sedikit kadang kala saya menggunakan tatacara Muhammadiyah dan kadang kala saya menggunakan tatacara Nu, tidak sampai menyerong atau malah melangkah ke depan maupun ke belakang. Sebab diberi tahu bahwa qunut tidak perlu, ya saya manut saja. Maka setidaknya selama tiga hari, ketika salat Subuh, tepatnya sehabis membaca doa I’tidal tidak ada bunyi, “Allahummahdiini fiiman hadait….”
Dan pada saat ramdhan pertama saya menemukan banyak perbedaan dan hal yang baru saya rasakan atau temui setelah saya di lingkungan Muhammadiyah seperti setelah adzan tidak ada puji-pujian,sholat tarawih yang biasa 23 rakaat saya lakukan di masjid kampus hanya 8 rakaat,dan ada sholat awal sebelum melaksanakan sholat tarwih yaitu sholat yang mana hanya membaca iftitah atau alfatiha saja dan hanya dua rokaat.
Ketika salat berjamaah dengan teman saya juga otomatis berbeda. Saya, sebagai makmum, menjadi setara karena berdiri bersebelahan dengan teman saya yang menjadi imam. Padahal dulu, kalau saya berjamaah dengan ibu saja, sudah tentu saya akan berada sedikit di belakang ibu saya.Awalnya saya merasa baik-baik saja terhadap perubahan-perubahan itu selama di perantauan. Saya termasuk mahasiswa yang jarang pulang, jadi ada waktu lama membiasakan diri pada perubahan itu. Tetapi ketika saya di rumah, kebiasaan beribadah saya secara default berubah lagi menjadi NU. Ketika salat Subuh, saya jadi balik membaca qunut padahal selama di perantauan tidak melakukan itu.
Kebetulan saya juga ngekos pada lingkungan yang Muhammadiyah yang mana tidak ada slametan atau pun tahlilan yang mana sangat berbeda jika dibandingkan di lingkungan asal saya yang mana setiap malam pasti terdengar suara lantunan ayat kursi atau pun suara puji-pujian yang kadang di iringi dengan hadroh,sehingga malam di sanah tidak begitu sesunyi malam di lingkungan Muhammadiyah.
Saya tetap mengamalkan keduanya secara tidak konsisten karena bagi saya di antara keduanya tidak ada yang lebih benar apalagi salah. Saya mengenal keduanya dengan cara masing-masing. NU melalui pendekatannya yang terkenal humanis, tepat dengan cara saya mengenalnya melalui kehidupan bersosial selama masa pertumbuhan saya. Sedangkan, melalui jalur intelektualitasnya, saya berkenalan dengan Muhammadiyah ketika di ranah SMA dan Perkuliahan.
Namun, meski saya menghormati keduanya, tidak bisa saya pungkiri kalau saya merasa lebih condong ke NU. Berlebaran dengan cara Muhammadiyah itu terasa sepi sekali, tidak seperti NU yang musalanya akan bersahut-sahutan menggemakan takbir. Selain itu, Muhammadiyah tidak bisa membuat saya riang gembira seperti NU melalui kehadiran berkat-berkat tahlil yang dibawa pulang bapak. Lagipula, “Allahumma ba’id bain,” tidak sekokoh “Kabiiro” di otak saya.
Sekian cerita sekilas replika kehidupan terhadap dinamika sampai dengan penyesuaian saya di lingkungan Muhammadiyah yang membuat saya merasakan krisis identitas, kadangkala saya menggunakan madzab syafi’I dan kadangkala saya juga menggunakan tatacara sesuai dengan Muhammadiyah.
Penulis : Siti Darojatun (mahasiswa Hukum Ekonomi Syariah Universitas Muhammadiyah Purwokerto)
Saya Dymas Rhimba Prastita-
BalasHapus_2102010163
Izin menanggapi
Terkadang menjadi umat NU atau Muhammadiyah bukanlah suatu perbedaan besar yang terjadi didalam kehidupan, apalagi jika dikaitkan dengan persoalan beribadah. Hanya pengaruh perbedaan itu terjadi dimana tempat lingkungan kita tumbuh dan berkembang. Yang terpenting adalah bagaimana cara kita mengamalkannya dan tujuan nya tetap sama yaitu untuk memperkuat keyakinan dan pengabdian kepada Allah serta menguatkan karakter, mendisiplinkan diri dan peranannya sebagai wakil dan hamba yang dipercaya Allah di bumi dan tentunya mendekatkan diri kepada sang pencipta.
Nama : Mar’atun Sururiyah
BalasHapusNIM : 2102010107
izin menanggapi artikel yang berjudul “lahir di NU, tumbuh dewasa di Muhammadiyah”. setelah membaca artikel tersebut, saya ada kesamaan dengan penulis yang mana saya juga lahir di NU dan dewasa di Muhammadiyah karena saya kuliah di kampus Muhammadiyah. hanya saja penulis artikel tersebut terkadang krisis identitas, jadi tidak teguh pada pendiriannya sendiri yang mana dari awal memang mempercayai NU. berbeda dengan saya, saya lahir di NU dan sekarang kuliah di kampus Muhammadiyah akan tetapi saya tetap teguh pendirian ke NU sampai saat ini dan insyaallah seterusnya akan terus berada pada koridor NU dengan amalan-amalannya.
Dea Amelia
BalasHapusIzin menanggapi artikel diatas
Ternyata ada kesamaan antara saya dan penulis, dimana saya sedari kecil berada dilingkungan NU dan ketika berkuliah masuk Universitas Muhammadiyah. Hal tersebut membuka wawasan saya bahwa Islam tetap satu namun cara beribadah dan amalan yang di lakukan berbeda. Saya baru memahami perbedaan diantara 2 organisasi tersebut ketika di dunia perkuliahan, seperti membaca qunut, melafazkan sayyidina, tahlilan dan perbedaan lainnya. Dan saya satu pendapat dengan penulis walaupun berada di dua lingkungan yang berbeda antara keseharian dan dalam berintelektual, kita tetap harus saling menghormati satu sama lain, tidak ada yang paling benar dan tidak ada yang salah. Yang terpenting menurut saya dalam melaksanakan dan mengamalkannya harus niat lillahi ta'ala.