Indonesia merupakan negara dengan adat dan budaya yang beragam dari Sabang
sampai Merauke. Selain itu, agama di Indonesia juga banyak jenisnya, namun
tidak semuanya merupakan agama resmi. Masih menjadi rahasia umum bahwa
Indonesia memiliki banyak aliran agama yang mana biasanya diwariskan secara
turun temurun oleh nenek moyang mereka. Agama Islam sendiri memiliki banyak
aliran atau organisasi yang bergerak di dalamnya. Beberapa dari kita pasti
pernah bertanya-tanya mengapa Islam yang seharusnya memiliki satu ajaran dan
pedoman yang sama memiliki banyak aliran.
Di kecamatan Jatilawang sendiri mayoritas masyarakatnya beragama Islam,
namun dengan aliran atau organisasi yang beragam. Namun dua organisasi yang
paling menonjol yaitu Nadhatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Di lingkungan
keluarga sendiri kami dan semua kerabat atau tetangga terdekat menganut
Nadhatul Ulama. Hanya beberapa kerabat atau saudara yang tergolong ke dalam
Muhammadiyah. Hal ini tentunya mempengaruhi kehidupan bertetangga dengan adanya
perbedaan dalam organisasi ini.
Muhammadiyah sendiri berperan penting dalam bidang pendidikan yaitu dengan mendirikan
beberapa sekolah di Jatilawang, mulai dari TK Aisyiyah BA 04 Jatilawang, TK
Aisyiyah Bustanul Athfal 5 Adisara, SD Muhammadiyah Jatilawang dan SMP Muhammadiyah
Jatilawang. Sekolah-sekolah tersebut juga mengukir banyak prestasi, diantaranya
lomba kaligrafi, cerdas cermat, debat dan masih banyak lagi. Di Jatilawang juga
terdapat organisasi yang bergerak di kalangan pelajar dari SMP sampai SMA.
Organisasi tersebut yaitu Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) Jatilawang. IPM
Jatilawang aktif melakukan berbagai kegiatan positif, seperti talkshow
inspiratif, kajian, bahkan seminar. Untuk itu pemuda Muhammadiyah di Jatilawang
dapat memberikan dampak positif untuk lingkungan sekitar tempat tinggalnya
dengan acara dan kegiatan yang mereka lakukan.
Namun di Jatilawang, kedua organisasi tersebut memiliki banyak perbedaan, salah
satu perbedaan yang paling terlihat yaitu dengan adanya acara yasinan dan
tahlilan yang hanya dilakukan oleh masyarakat NU. Acara ini selalu diadakan
ketika salah satu kerabat atau saudara meninggal dunia. Keluarga yang sedang
berduka akan mengadakan yasinan dan mengundang para tetangga terdekat dan
diberi hidangan makanan atau berkat sebagai ucapan rasa terima kasih. Tujuannya
acaranya adalah untuk membantu mendoakan jasad yang baru saja meninggal dunia. Selain
itu acara tersebut bisa dijadikan sarana untuk bersilaturrahmi antar tetangga
dan saudara. Namun hal ini sangat berbeda pandangan dengan masyarakat
Muhammadiyah yang menolak adanya acara tersebut.
Sebaliknya, Muhammadiyah sangat menentang ajaran yang tidak tercantum dalam
Al-Qur’an dan Sunnah karena akan menimbulkan bid’ah. Bid’ah adalah sesuatu yang
tidak diajarkan oleh Rasulullah SAW atau dalam Islam itu sendiri. Sedangkan
yasinan ini tidak ada perintah untuk melakukannya dalam Al-Quran dan dalil
manapun. Oleh karena itu masyarakat Muhammadiyah tidak pernah mau datang
apabila seseorang NU mengundangnya untuk acara tersebut.
Menurut opini saya, acara yasinan atau perayaan kematian sudah saatnya
didiskusikan lagi terlebih untuk para petinggi NU itu sendiri. Mereka
seharusnya dapat mensosialisasikan bahwa yasinan atau tahlilan bukan merupakan
suatu kewajiban seorang muslim. Target dari informasi ini adalah para umat NU yang
kurang mampu secara finansial. Dalam kehidupan nyata, masyarakat NU justru
cenderung tergolong kurang mampu khususnya di tempat saya tinggal. Bayangkan
saja, untuk makan pun mereka harus menjual sebagian hartanya, lalu bagaimana
mereka dapat mengadakan acara terlebih lagi saat dalam keadaan berduka. Memang
dari kerabat atau saudara pasti ada yang membantunya, tetapi bukankah lebih
baik keluarga yang sedang berduka untuk fokus mendoakan saudara mereka daripada
mengeluarkan tenaga dan uang untuk mengadakan acara tersebut.
Lain halnya jika seseorang itu mampu secara finansial dan banyaknya bantuan
yang datang karena memiliki relasi yang banyak. Maka untuk mengadakan acara
tersebut adalah suatu pilihan bagi setiap individu itu sendiri. Kalau dirasa
mampu maka sah-sah saja asal tujuannya benar-benar untuk kebaikan dan mendoakan
si mayit. Selain itu sebagai saudara sesama muslim juga wajib untuk saling
membantu jika salah satu dari kita tertimpa musibah. Biasanya para tetangga
atau kerabat menyumbangkan sebagian bahan makanan seperti beras, gula dan uang
untuk kemudian dijadikan makanan dan disajikan kepada mereka yang membantu
melaksanakan prosesi perawatan jenazah sebagai bentuk rasa terima kasih.
Untuk itu menurut saya, pentingnya peran para petinggi NU untuk menjelaskan
kepada masyarakat bahwa acara yasinan dan tahlil tidak wajib dilakukan, karena
pada praktiknya di dunia nyata masih banyak yang beranggapan bahwa acara
tersebut akan berdampak buruk atau berdosa jika tidak dilakukan tanpa
memikirkan keadaan mereka sendiri apakah mampu atau tidak. Kalangan ekonomi
menengah kebawah juga biasanya sulit mengerti hal baru atau susah di edukasi.
Mereka juga cenderung merasa tidak enakan untuk tidak mengadakan acara tersebut
karena dianggap tidak mematuhi tradisi.
Namun kembali lagi, dua organisasi tersebut sama-sama memperjuangkan
nilai-nilai Islam dan pastinya memiliki visi misi dan tujuan yang baik.
Beberapa perbedaan tidak dapat dijadikan sarana peperangan, justru kita dapat
semakin mempererat silaturahmi dengan cara positif. Kita dapat bertukar pendapat
melalui perbedaan pandangan yang ada, bukan untuk saling menyalahkan atau
mencela. Karena pada dasarnya kita semua adalah muslim yang menjunjung tinggi
perdamaian.
Penulis : Devita Aprilia (mahasiswa Prodi
Sastra Inggris Universitas Muhammadiyah Purwokerto)