Masalah
perdebatan doa Qunut terkadang masih ada di berberapa lingkungan setempat, yang
dimana Sebagian ulama ada yang menganjurkan dan ada juga yang mengatakan
sunnah. Di tempat tinggal saya yang bermayoritas Muhammadiyah tidak melakukan
Qunut subuh, sedangkan di tempat lain yang saya alami ada juga yang menggunakan
qunut saat sholat subuh karena di daerah tersebut megikuti ajaran Nahdlatul
Ulama. Dan terkadang di linkup sekolah masih ada yang bertanya-tanya mana yang
benar dan apakah perlu dilakukan. Berberapa jawaban yang ada mengatakan tidak
perlu dijadikan perdebatan dan tidak memutuskan mana yang benar atau salah.
Karena hamper semua pemeluk islam yang pemeluknya hanya satu. Sederhananya
Muhammadiyah focus pada Pendidikan islamnya sementara Nahdlatul Ulama lebih
toleran terhadap tradisi dan praktik. Berikut penjelasnya dari berbagai sudut
pandang mengenai qunut subuh.
Para ulama
berbeda pendapat tentang berberapa aspek qunut dalam sholat subuh. Meskipun
berberapa ulama tidak setuju dengan alasan mendukung doa qunut saat fajar, yang
berberapa percaya bahwasanya hadist tersebut benar dan Kuat.
Dalil-dalil
yang dipersilihkan:
“Dari Anas bin Malik ra. Berkata bahwa nabi SAW melakukan qunut selama sebulan untuk mendoakan kebinasaan arab, kemudian beliau meninggalkanya” (HR muttaqfaq’alaihi).
“Dari Anas ra berkata bahwa Nabi SAW tidak berqunut kecuali jika beliau mendoakan kebaikan atas suatu kaum atau mendoakan keburukan” (HR Ibnu Khuzaemah).
(Menurut
Abu Hurairah ra. Rasullullah SAW mengangkat tangan dan berdoa: Allahummahdini
fii man hadait.. sambal berdiri dari rukuk pada rakat kedua shalat subuh.
Al-hakim, HR Hadist ini di dukung olehnya. Meskipun Hadist ini diriwayatkan
oleh Abdullah bin said Al-maqbari, berberapa muhaddit mengklaim bahwa itu
adalah dhaif. Banyak muhadditsin yang memandangnya sebagai orang yang tidak
bisa dijadikan dalil, dan pandangannya berbeda dengan hukum qunut shalat
subuh).
Menurut
salah satu dari dua mazhab utama hukum Islam, yaitu mazhab Al-Hanafiyah, hukum
qunut pada shalat subuh tidak diwajibkan (ghairu masyru'). Mereka mengklaim
bahwa qunut pada sholat subuh dipraktekkan oleh Rasulullah SAW, kemudian
disetujui (dihapus). Sedangkan Menurut Malikiyah, yang mustahabb (disarankan)
dan fadhilah untuk berdoa qunut pada waktu fajar (yang lebih utama). Rasulullah
SAW biasa melakukannya, demikian penjelasannya. Namun menurut madzhab ini,
salat qunut dilakukan dengan senyap tanpa mengeluarkan suara, melainkan
dibacakan dengan suara keras. Lalu dari Ash-Mazhab Syafi'i mengatakan bahwa
hukum qunut pada shalat Subuh adalah sunnah.
“Ketahuilah
bahwa qunut itu masyru” dalam shalat subuh, menurut Al-Imam An-Nawawi
Rahimahullah dalam kitabnya, dan hukumnya adalah sunnah muta'akkidah.
Dalil-dalil yang dikemukakan identik dengan yang dikemukakan oleh mazhab
Al-Malikiyah, termasuk hadits di atas yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan
Al-Baihaqi.
Menurut
mazhab Al-Hanabilah mengatakan bahwa qunut tidak sunnah mengikuti hukum qunut
pada shalat subuh. Dalam semua sholat sunnah lainnya, qunut juga tidak
diperbolehkan. Sholat witir adalah satu-satunya hal yang dianjurkan. Qunut
harus dalam posisi makruh saat sholat subuh, menurut Al-Imam Ahmad bin Hanbal
Rahimahullah. Mazhab ini juga menjunjung tinggi hadits yang dikutip oleh mazhab
Abu Hanifah di atas, bahwa Rasulullah SAW biasa qunut pada sholat subuh selama
sebulan sebelum berhenti melakukannya.
Qunut
adalah sunnah dalam shalat witir, yang dilakukan sebelum rukuk, menurut Imam
Abu Hanifah. Sebaliknya, dia tidak menganggap shalat subuh sebagai sunnah.
Menurut Imam Malik, qunut sebelum rukuk lebih afdhal karena merupakan ibadah
sunnah pada shalat subuh. mam Menurut As-Syafi'i ra, Qunut dilakukan pada
sholat subuh setelah sujud pada rakaat kedua dan dianggap sunnah. Qunut,
menurut Imam Ahmad bin Hanbal, adalah amaliyah sunnah yang dilakukan setelah
shalat witir, yang dilakukan setelah sujud. Sementara dia tidak menganggap
qunut saat sholat subuh sebagai sunnah.
Lantas
kita sebagai umat muslim walaupun memiliki berbedaan pendapat dalam mengenai
hal ini maka kita haru saling menghormati dan berlapang dada dalam menghadapi
perbedaan. Apabila saat subuh berlangsung dan bertemu yang menggunakan qunut dan
sudah paham berdasarkan yang diketahui maka afdalnya adalah pandangan mereka.
Dan hendaknya menyesuaikan diri dengan mereka, itu lebih baik. Apabila masih
ragu untuk berqunut maka tidak perlu di jalankan namun tetap menghormati tidak
perlu di perdebatkan. Dari berberapa hal yang saya alami, saya pernah sholat
yang dimana sholat tersebut menggunakan qunut, hal yang saya lakukan adalah
mengikutinya namun saya juga pernah mengalami untuk tidak mengikutinya seperti
tidak mengangkat tangan. Menurut saya hal ini tidak di permasalahkan, apabila
memang sudah jelas hadist yang di dapat itu tidak perlu dijalankan maka tidak
masalah. Akan tetapi tetap mengikuti imam sampai akhir sholat. Karena sholat
itu lebih utama.
Jadi
apabila menemui seseorang yang berdebat mengenai hal tersebut dan mengatakan
benar salahnya maka perlu di luruskan, bahwasanya semua hal tersebut untuk
Qunut tidak perlu di perdebatkan secara serius mana yang benar dan mana yang
salah Karena hamper semua pemeluk islam yang pemeluknya hanya satu.
Sederhananya Muhammadiyah fokus pada Pendidikan islamnya sementara Nahdlatul
Ulama lebih toleran terhadap tradisi dan praktik. Cukup ikuti apa yang imam
lakukan saat sholat, apabila imam menggunakan Qunut maka di lakukan atau
mengikutinya untuk berqunut itu tidak masalah. Atau pun saat sholat subuh imam
menggunakan qunut dan kita tidak mengikuti untuk berqunut juga tidak menjadi
masalah. Begitu pula sebaliknya apabila imam tidak menggunakan qunut maka ikuti
imam, tidak perlu memaksa untuk berqunut karena Menurut saya kuncinya ada di
imam, karena imam yang menentukan kapan takbiratul ikhram. Apabila masih
memaksa maka sholat akan menjadi rusak karena tidak mengikuti imam.
Begitu lah
hal-hal yang perlu kita hadapi di lingkungan sekitar yang masih terdapat
perbedaan pendapat, cukup dengan menghormatinya dan tidak perlu menjadi
perdebatan mana yang salah atau benar.
Penulis : Ibnu
Hudzaifah Hanief (Mahasiswa Prodi Sastra Inggris Universitas Muhammadiyah Purwokerto)