Radikalisme adalah paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis. Radikalisme dalam beragaa mempersulit agama itu sendiri yang sejatinya sumhah (ringan) dengan menganggap ibadah sunnah seakan-akan wajib dan makruh seakan-akan haram. Dicirikan dengan perilaku beragama yang lebih memprioritaskan persoalan-persoalan sekunder dan mengesampingkan yang primer.
Berlebihan
dalam beragama yang tidak pada tempatnya. Muhamadiyah
mempunyai perhatian yang cukup besar terhadap segala tantangan kekinian,
khususnya merebaknya paham radikalisme keagamaan ini. Menurut Haedar Nashir,
sebagai ketua umum Muhammadiyah, memiliki pandangan yang sangat tegas bahwa
Muhammadiyah berposisi sebagai kelompok Islam moderat menyerukan untuk menjauhi
segala bentuk radikalisme, yang membawa pada paham serba absolut dan mengandung
ekstrimisme, intoleransi, dan kekerasan tentang segala hal menyangkut kehidupan
manusia dan kebangsaan, karena sejatinya muhamamdiyah beranggapan bahwa
Muhammadiyah memiliki budaya organisasi yang memiliki doktrin kuat teologi amal
(kerja). Muhammadiyah telah banyak melakukan program pencegahan paham radikalisme,
namun secara spesifik masih diperlukan pendalaman pemahaman tentang konsep dan
praksis gerakan radikalisme yang berkembang saat ini.
Belakangan ini meskipun Muhammadiyah
sering diklaim para orientalis sebagai salah satu akar gerakan radikalisme di
Indonesia, namun tidak sedikit di antara para pemikir dan aktivis Muhammadiyah
memberi alternatif lain untuk menunjukkan bahwa selama ini Muhammadiyah tidak
pernah sepakat dengan aksi-aksi yang dilakukan oleh kelompok ideologi radikal. Bahkan konsep moderasi Islam menjadi tawaran tersendiri
untuk memberantas masalah radikalisme yang sedang terjadi. Muhammadiyah sangat
menyadari posisinya bahwa meskipun sama-sama sebagai gerakan Islam modernis,
namun berbeda dalam hal praktik untuk berbangsa dan bernegara. Berbeda dengan
kelompok-kelompok radikal yang di level ekstrem dan yang anti NKRI,
Muhammadiyah justru berjuang mempertahankan NKRI dan mempertahankan nilai-nilai
Pancasila dan amanat UUD 1945.
Muhammadiyah memiliki peran yang
cukup berarti di dalam menangkal kelompok-kelompok radikal dan intoleran di
Indonesia yang makin subur, salah satu tawaran yang sering kita dengar adalah
konsep moderasi sebagai jalan tengah mengatasi persoalan radikalisme di
berbagai kalangan masyarakat sipil. Pengaruh
ideologi radikalisme ini memang bermula dari lembaga pendidikan seperti
sekolah-sekolah berbasis agama, dan di antara sekolah-sekolah Islam itu
dikelola oleh kalangan kelompok Islam modernis termasuk yayasan lembaga yang dikelola
oleh lembaga partai politik Islam tertentu. Mestinya, dalam tataran pemikiran
radikalisme memiliki konotasi positif di mana memahami sebuah teks dan konteks
harus sampai ke akar-akarnya. Namun radikalisme menjadi bermasalah ketika di
tararan praktik sehari-hari masyarakat Indonesia hingga dapat menimbulkan
tindakan intoleransi bahkan kekerasan. Melihat keadaan ini Muhammadiyah tidak
bisa bersikap pasif bahkan lebih bersikap tegas untuk menyapu gerakan
radikalisme.
Muhammadiyah mengembangkan akhlaqul karimah yang
berdasarkan ajaran sunnah Rasul dan Al-Quran, termasuk mengembangkan pertanian,
pendidikan, ekonomi, dan lain sebagainya yang terbentuk dalam perkumpulan umat
Islam. Dengan dasar ini mengingatkan kita bahwa tidak semestinya gerakan radikalisme
yang mengarah pada tindakan kekerasan itu dibenarkan. Dalam meyikapi isu
radikalisme, para tokoh Muhammadiyah tampil di depan publik memberikan gambaran
komprehensif tentang radikalisme. Muhammdiyah akan selalu komitmen dalam
bernegara berdasar Pancasila yang sesuai dengan nilai-nilai Islam, serta selalu
berkomitmen dalam politik kebangsaan dengan melihat kemaslahatan umat.
Radikalisme telah merambah
generasi muda. Mereka di tengah generasi Z yang semakin canggih mengakses dunia
global, terkungkung pada pemahaman yang sempit. Mereka seakan mengorbankan diri
dan mengerdilkan diri di tengah dunia yang semakin mengglobal. Wajah
radikalisme itu pun mewujud dalam laku dan tindakan ekstrem. Seperti kebencian
terhadap kelompok lain, melakukan hujatan kepada nilai-nilai luhur bangsa, dan
bahkan melakukan penyerangan secara fisik kepada orang lain. Wajah unhumanis
itu kini membentang di abad kedua Muhammadiyah. Sebagai organisasi massa Islam
terbesar di Asia, Muhammadiyah perlu hadir mengawal, memberi solusi, dan
membangun mental tajdid (pembaru) dalam sendi kehidupan bangsa.
Sejak awal kelahirannya pada
18 November 1912, Muhammadiyah telah melakukan lompatan sejarah besar.
Organisasi yang didirikan oleh Kiai Haji Ahmad Dahlan ini melakukan kerja
humanis dalam membangun kesadaran dan tindakan masyarakat. Berbekal teologi
al-Maun dan al-Ashr, Kiai Dahlan mengubah tatanan masyarakat menuju keadaban.
Kiai Dahlan tidak sekadar mengajarkan narasi teks suci. Namun, ia juga
menjadikannya sebagai tindakan nyata, mewujud, dan mendorong terciptanya
masyarakat berkeadilan (masyarakat Islam yang sebenar-benarnya). Masyarakat
Islam yang sebenar-benarnya merupakan cita Muhammadiyah dalam mewujudkan laku
keagamaan dan kebangsaan. Muhammadiyah ingin hadir sebagai solusi bagi semua.
Muhammadiyah mendorong
terwujudnya keadaban, kemakmuran, dan keadilan sosial. Dalam masalah
radikalisme, Muhammadiyah dapat berperan serta dalam proses pemanusiaan yang
humanis. Kelompok radikal bukan untuk dimusuhi. Mereka perlu diayomi
sebagaimana dulu Kiai Dahlan mengumpulkan pengemis, gelandangan, dan tunawisma
dalam Roemah Miskin. Kelompok radikal perlu mendapat wadah agar mereka
beraktualisasi dalam kebaikan. Ruang aktualisasi ini penting dalam
mengembangkan proses dan logika berpikir. Saat seseorang tidak memiliki “teman”
dan “rumah besar” dalam proses pembinaan diri, maka ia akan mudah terhasut oleh
kekuatan invisible hand.
Di sinilah peran
Muhammadiyah, sebagaimana dulu Kiai Dahlan membina masyarakat kurang mampu. Muhammadiyah
mengajak umat Islam untuk mengadakan dialog intra umat Islam serta
mengembangkan pemahaman tentang perbedaan keagamaan. Berbekal pemahaman Islam
berkemajuan, Muhammadiyah akan lebih mudah memberi pemahaman, pendidikan, dan
pelayanan sosial kepada kelompok itu. Kerja kolektif ini akan mempermudah
upaya mencegah dan mendorong mereka untuk kembali “ke jalan yang
benar”. Oleh karena itu, pembangunan kemanusiaan sebagaimana kerja
Muhammadiyah sejak awal perlu kembali menjadi spirit mengurai radikalisme.
Kelompok radikal hanya perlu ruang belajar bersama. Mereka bukanlah “musuh”
yang perlu dienyahkan dengan berondongan sejata. Mereka hanya perlu teman
dialog.
Penulis : Hanggayuh
Sapna Mahestri (Mahasiswa Prodi Sastra Inggris Universitas Muhammadiyah
Purwokerto)