Melihat
Indonesia merupakan salah satu Negara dengan penduduk mayoritas yang beragama
Islam, terciptalah ide dan perspektif beberapa umat muslim sehingga berdirilah
beberapa Organisasi Islam Nusantara. Menurut saya adanya beberapa organisasi
islam di negri ini merupakan hal yang memiliki nilai luhur. Berarti, setiap
pendirinya memiliki pemikiran dan pemahaman yang berbeda, cermat dan kritis
daripada ajaran agama islam. Ada dua
organisasi Islam Indonesia yang sangat besar, yaitu Muhammadiyah dan Nahdhotul
‘Ulama. Menurut saya, keduanya adalah organisasi terpopuler yang berdiri lebih
dari seabad tahun lalu yang terus eksis dan berkembang dengan misi dakwahnya
masing-masing hingga sekarang ini. Namun mirisnya, anggota atau pengikut kedua
organisasi tersebut seringkali terjadi perdebatan pemahaman. Muhammadiyah yang
dikenal dengan istilah pemurnian islamnya, unggul kontribusinya dalam
pendidikan dan juga kemodernannya, sedangkan Nahdhotul ‘Ulama dengan
toleransinya dan pemeliharaannya terhadap tradisi-tradisi baik yang ada di
Indonesia. Keduanya memiliki perbedaan yang menjadi rahmat bagi manusia
khususnya bagi muslim di Indonesia.
Saya pribadi
adalah seorang yang pernah menimba ilmu di Pondok Pesantren Modern di
Majalengka selama 6 tahun. Dari pondok, saya tahu bahwa ada organisasi Islam
besar di Indonesia yaitu Muhammadiyah dan Nahdhotul ‘Ulama. Pondok saya
walaupun yang saya lihat banyak dari kyai dan ustadz-ustadzah pengabdian di
sana yang mengikuti dakwah Nahdhotul ‘Ulama, namun pondok saya adalah pondok yang
tidak hanya condong dalam mempelajari pemahaman organisasi Nahdhotul ‘Ulama, di
sana pun mempelajari pemahaman dakwah Muhammadiyah, namun saat itu saya belum
begitu faham apa berbedaan keduanya dan mengapa dengar-dengar suka sekali
diperdebatkan antar keduanya?
Walaupun
sejujurnya saya belum begitu faham dengan konsep dakwah antara Muhammadiyah dan
Nahdhotul ‘Ulama. Akan tetapi, ada satu hal yang sedari dulu menjanggal pikiran
saya. Di desa saya yang mayoritas mengikuti dan menerima dakwah Nahdhotul ‘Ulama
yang setiap shalat subuhnya menggunakan bacaan qunut di masjid, namun ada satu
dua warga yang mengikuti gerakan dakwah Muhammadiyah yang tidak pernah terlihat
dirinya sholat di masjid desa tersebut dan selalu melaksanakan shalat fardhu 5
waktu di rumahnya dan kalaupun tidak di rumahnya, maka mereka shalat di tempat
yang bermasjidkan jama’ah pengikut organisasi Muhammadiyah.
Disini, yang membuat saya janggal adalah mengapa seseorang (Muhammadiyah)
yang laki-laki itu tidak shalat fardhu di masjid padahal jarak rumah dan
masjidnya begitu dekat. Mengapa harus mempertimbangkan
bahwa itu adalah masjid dengan jama’ah pengikut NU ataukah tidak? Padahal
ibadah sholat fardhu 5 waktu di masjid bagi seorang laki-laki muslim adalah
fardhu kifayah hukumnya menurut madzhab Imam Syafi’I yang menjadi rujukan
sebagian besar umat muslim dan ulama di Indonesia. Walaupun memang fardhu
kifayah adalah fardhu yang gugur kewajibannya jika sudah diwakilkan oleh
sebagian muslim, namun sholat di masjid bagi seorang laki-laki muslim tentulah
lebih afdhol dan utama daripada di rumah. Bahkan sholat tarawih yang memang
baiknya dikerjakan berjama’ah di masjid bagi muslim laki-laki, namun seorang
itu mengerjakannya di rumah.
Dari hal ini,
saya menjadi berfikir dan mulai mengamati sehingga muncullah
perspektif-perspektif dari pikiran saya mengenai seorang pengikut organisasi
Muhammadiyah, apakah organisasi Muhammadiyah sebegitu tidak tolerannyakah
terhadap masyarakat desa yang memang kebanyakan di dakwahi oleh organisasi
lain. Dari pikiran kasar saya, saya terus mencari informasi karena saya belum
pernah bertanya dan mengetahui alasan mengapa seorang (Muhammadiyah) di desa
saya itu seperti itu. Dan dalam pandangan saya dan atas ilmu yang pernah saya
dapat dan dengar dari ustadz saya di pondok, bahwa jika kita berada di
lingkungan yang berbeda pendapat ataupun misalnya madzhab, maka ikutilah saja
dalam hal ibadah sholat di masjid misalnya, di suatu daerah sebagai bentuk
toleransi. Karena menurut saya, ini bukan soal seseorang pengikut organisasi
ini dan itu. Tetapi kita seorang muslim, umat yang beragama Islam yang
sepatutnya mengikuti ajaran Rasulullah dengan tidak sepenuhnya berpisah dengan
umat yang lain.
Itu adalah pemikiran saya dahulu sebelum kuliah, lalu setelah masuk kuliah
di Universitas Muhammadiyah Purwokerto saya mulai banyak belajar dan tahu dari
dosen agama setiap perkuliahan berlangsung dosen saya selalu menjelaskan
terkait pemahaman-pemahaman islam yang di ajarkan di Muhammadiyah. Dan ternyata ada beberapa perbedaan dakwah dan pemahaman amalan yang
condong terlihat antara organisasi Muhammadiyah dan Nahdhotul ‘Ulama. Saya
mulai berfikir, ternyata apa yang saya dengar di pondok dulu bahkan sampai
sekarangpun saya masih selalu menimba ilmu dari kyai dan ustadz-ustadzah saya
di pondok semuanya diterima dan dibenarkan penjelasan dan pemahaman agamanya
oleh nurani saya, begitupun sama halnya ketika saya belajar dan mendengar dosen
saya di kampus memaparkan paham Muhammadiyah, semuanya pun diterima oleh hati
nurani saya. Kyai selalu mendakwahkan dengan dakwah NU beserta penjelasaannya
yang bagi saya masuk akal begitupun dengan dakwah dosen-dosen dan organisasi
Muhammadiyah di kampus saya ini.
Walaupun
keduanya kokoh dan teguh dalam pemegangan dakwah dalam organisasinya
masing-masing. Contoh salah satu perbedaan pemahaman antara kedua organisasi
tersebut adalah saat datangnya hari Rasulullah SAW dilahirkan. Pengikut
Nahdhotul ‘Ulama selalu merayakannya atau dengan kata lain selalu mengadakan
acara Maulid Nabi sebagai bentuk rasa syukur bahwa Allah telah mengirimkan
sosok mulia yang membawa kesejahteraan dan Rahmat bagi seluruh umat, yang
membawa ajaran akhlak dan penyempurnaan kitab dari kitab-kitab sebelumnya.
Kyai saya pernah
bilang bahwa “Semua orang tua ketika punya anak, mereka akan senang dan
bahagia. Dibuatlah acara slametan dengan harapan agar sang anak selamat dunia
akhirat. Sedangkan nabi yang sudah pasti selamat dan akan menjadi penyelamat
kok kita gak boleh bahagia merayakan kelahirannya?”. Jadi, menurut saya memang
benar ga ada salahnya mengadakan Maulid nabi yang diisi dengan kajian, ceramah
tentang Nabi Muhammad SAW, bersholawat bersama, dan menyambung ukhuwah dengan
mengundang warga desa sebelah ke pondok pesantren saya.
Lalu, berbeda dalam pandangan Muhammadiyah, yang mana mereka berpendapat
lebih baiknya acara kelahiran nabi tidak usah dirayakan, karena para
sahabat-sahabat nabipun tidak pernah merayakannya. Alangkah
baiknya jika uang yang dikeluarkan untuk acara maulid kita sumbangkan atau beri
kepada faqir miskin atau kepada orang yang lebih membutuhkan. Kedua perbedaan
itu, menurut saya tak ada yang salah. Hanya saja, masih ada beberapa orang yang
tak menoleransi dan menghargai perbedaan tersebut. Padahal menurut saya, acara
Maulid pun tak jauh daripada menyenangkan orang fakir miskin ataupun anak yatim
di dalamnya, bershodaqoh, makan-makan bersama, dan juga saling mempererat
ukhuwah (yang saya lihat dan alami saat saya di pesantren).
Pondok Pesantren
saya, tidak pernah memaksa atau mendoktrin santrinya untuk terus mengikuti jalan
dakwah kyai atau ustadz-ustadz di dalamnya (NU ataupun Muhammadiyah). Kyai saya
selalu mengajarkan bahwa santri harus menuntut ilmu dari manapun, tak terbatas
dimana dan dengan siapapun. Hingga saat lulus pesantrenpun, kyai masih terus
mengarahkan dan menuntun santri yang ingin kuliah di perguruan tinggi, di
manakah universitas dengan lembaga yang ajarannya -kasarnya- tidak sesat.
Lalu semenjak
ketika saya masuk dalam organisasi otonom Muhammadiyah di kampus saya Universitas Muhammadiyah
Purwokerto. Saya dibekali materi-materi antaranya Keagamaan, Kemuhammadiyahan
sampai kepemimpinan. Saya baru sadar dan merenung setelah banyak ilmu tentang
organisasi Muhammadiyah dan juga perbedaannya dengan dakwah NU. Bahwa perbedaan
antara organisasi Islam satu dengan yang lainnya di Indonesia ini sebenernya
indah sekali. Saya sangat suka dengan gerakan dakwah Muhammadiyah dengan
kemodern-annya dan pendidikannya yang sangat unggul, organisasi ataupun ortonom
yang sukses berkembang hingga sekarang ini, orang-orang yang hebat yang saya
lihat saat pembekalan materi DAD IMM, menjelaskan dengan detail sekali bahwa
Muhammadiyah mengikuti ajaran Islam yang murni sesuai syariat nabi yang
berlandaskan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Begitupun dengan Nahdhotul ‘Ulama,
dengan melestarikan adat islam yang memakai koko dan sarung saat ber-abad-abad
yang lalu, lalu perjuangan santri NU yang sangat luar biasa kala kemerdekaan
Indonesia yang sering kyai saya ceritakan, akhlak-akhlak yang selalu
ustadz-ustadzah saya amalkan sehingga saya melihat bahwa setiap orang memiliki
pilihan dalam kepercayaan, setiap insan pasti memiliki hati nurani dan akal
yang isinya berbeda-beda. Dengan ini saya simpulkan,
bahwa perbedaan yang ada bukan untuk sebuah perdebatan, kita selaku umat muslim
terutama para muda-mudi Indonesia, kita adalah pendakwah, kita mampu memilah
dan memilih ajaran mana yang akan kita bawa, gerakan mana yang akan kita pegang
untuk berdakwah, tak salah jika kita saling mendakwahkan apa yang menurut kita
benar dalam syariat agama, namun yang salah ada berdebat dengan cara yang
salah. Wallaahua’lam Bisshawaab.
Semua penjelasan
dan pemaparan di atas ini adalah murni dari pikiran dan padangan saya pribadi,
masih banyak khilaf, salah dan awamnya saya tentang ilmu dan penjelasan tentang
agama khususnya ajaran yang diikuti kedua organisasi islam di Indonesia ini.
Saya bukan bermaksud membenarkan, tetapi saya hanya menyampaikan pikiran kritis
dan janggal saya. Terimakasih kepada bapak dosen pengampu mata kuliah ini dan
mohon selalu bimbingannya.
Penulis : Zahra Aqila Nurmaputri (Mahasiswa Prodi Sastra Inggris Universitas Muhammadiyah Purwokerto)