Muhammadiyah didirikan di Kauman
pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H atau 18 November 1912 oleh Muhammad Darwis
yang kemudian dikenal dengan Kyai Haji Ahmad Dahlan. Muhammadiyah terbentuk
karena Kyai Haji Ahmad Dahlan merasa sedih, karena di Indonesia masih bersifat
mistik. Setelah berguru pada ulama-ulama, akhirnya hatinya tergerak untuk
mendirikan Muhammadiyah guna membantu masyarakat Indonesia agar menuju ke jalan
yang benar dan tidak ketergantukaan pada hal yang mistis. Selain itu, agar
banyak masyarakat yang memiliki agama islam.
Semasa saya hidup selama 19
tahun di Cilacap, saya sadar bahwa masyarakat Indonesia ada yang puasa dan
lebaran terlebih dahulu berbeda satu hari dibandingkan masyarakat yang lainnya.
Setahu saya, yang mengikuti puasa dan lebaran terlebih dahulu berasal dari
Muhammadiyah dan NU melaksanakan puasa serta lebaran satu hari setelah
Muhammadiyah. Namun, perbedaan tersebut tidak menimbulkan suatu keributan dan
selalu berujung dengan damai. Meskipun terdapat perbedaan, puasa selama 30 hari
dan lebaran dapat dilakukan dengan khidmat tanpa ada kesombongan dan iri dengki dari masing-masing orang yang
melaksanakannya.
Di daerah tempat tinggal saya,
kebanyakan mengikuti NU dibandingkan Muhammadiyah, namun, di tempat tinggal
nenek saya yang jaraknya tidak terlalu jauh, terdapat sebagian masyarakat yang
mengikuti Muhammadiyah. Tidak ada perbedaan, masih sesama islam, hanya cara
pengajarannya yang berbeda, namun tidak berada di jalan yang sesat. Menurut
saya, apapun yang diikuti, baik Muhammadiyah atau NU, tidak ada masalah selagi
tidak menimbulkan suatu kericuhan yang dapat merugikan seluruh masyarakat yang
ada.
Penentuan puasa atau lebaran
yang ditetapkan oleh NU berdasarkan hilal, sedangkan Muhammadiyah berdasarkan
perhitungan astronomi atau hisab. Meskipun berbeda cara penetapan, hari puasa
dan lebaran, jumlahnya tetap sama dan insyaallah pahala yang
didapatkan tidak berkurang. Perurusan pahala itu Allah yang mengatur. NU dan
Muhammadiyah merupakan ormas yang dimiliki di agama islam. Yang saya tahu, ada
beberapa pula hal yang dibedakan antara Muhammadiyah dan NU.
Sholat yang dilakukan antara NU
dan Muhammadiyah di sekitar tempat tinggal saya juga berbeda. Bagi kalangan
agama muslim yang dari ormas NU, sholat shubuh yang mereka lakukan dilaksanakan
dengan qunut, sedangkan Muhammadiyah tidak. Lalu, cara pengucapan untuk sholawatan
juga berbeda. Muhammadiyah tidak mengucapkan ‘sayyidina’ bagian di sholawat,
sedangkan NU memakainya. DI sekitar tempat tinggal saya, Ketika tarawih, orang
berbondong-bondong sholawatan nabi. Namun, banyak pula saya mendengar hal yang
berbeda. Seberapa bagian mengikut pada NU yaitu mengucapkan “sayyidina’,
sedangkan beberapa bagian pengikut Muhammadiyah yang tidak menggunakan
“sayyidina”.
Sekolah Muhammadiyah di daerah
tempat tinggal saya terbilang banyak. SD, SMP, bahkan SMA meskipun nama
Muhammadiyah, namun banyak nomor setelahnya. Tidak hanya Muhammadiyah 01,
bahkan terdapat Muhammadiyah 08 hanya untuk SD. Maka dari itu, di daerah tempat
saya tinggal, namun yang saya tidak ketahui terdapat jumlah pengikut
Muhammadiyah yang terbilang banyak juga.
DI daerah tempat saya tinggal
juga sering melakukan tahlilan. Saya baru tahu bahwa hal tersebut yang biasa
dilakukan oleh ormas NU dan terbilang tidak wajib. Selama ini, saya mengira
bahwa tahlilan merupakan suatu hal yang wajib dilakukan untuk para keluarga
yang baru ditinggalkan selamanya oleh kerabat mereka. DI Muhammadiyah tidak ada
tahlilan, bahkan dari Al-Qur’an sendiri tidak menyebutkan bahwa tahlilan
seperti 7 harian dll tersebut tidak wajib dilakukan. Tahlilan ada di kehidupan
dimunculkan oleh para manusia sendiri. Menurut islam, hal tersebut merupakan
suatu kegiatan bid’ah, yaitu peraturan yang tidak ada di Al-Qur’an, namun
ditambahkan sendiri dan dilakukan seolah-olah hal tersebut wajib dilakukan. Menurut
saya, hal tersebut perlu diadakan pembicaraan lagi, karena tidak semua orang
mampu melakukan tahlilan dan harus memberi makan orang yang dating tahlilan.
Yang seharusnya hanya pikiran tentang tahlilan, justru kebanyakan orang jadi
fokus pada biaya tahlilan tersebut.
Sholat tarawih yang sering saya
temui di daerah saya jumlahnya berbeda-beda. Ada yang berjumlah 23 rakaat dan
ada yang berjumlah 11 rakaat. Sholat tarawih yang berjumlah 11 rakaat adalah
Muhammadiyah dan yang 23 rakaat adalah NU. Di tempat saya, jumlahnya
berbeda-beda. Di masjid dekat rumah lama saya, jumlahnya 11 rakaat, sehingga
saya sudah terbiasa dengan jumlah 11 rakaat. Namun, di tempat tinggal saya yang
baru, jumlah rakaat nya menjadi 23 yang dimana membuat saya menjadi bingung.
Kenapa bisa 23? Kan biasanya 11? Ya itu pemikiran saya saat dahulu.
Kesimpulannya adalah daerah tempat
tinggal saya tidak terlalu menetap ormas Muhammadiyah atau NU, yang terpenting
adalah bagaimana kita semua melaksanakan rukun islam dan iman, serta melakukan
semua kewajiban yang harus dilakukan oleh umat muslim. Karena saya termasuk
orang yang bingung untuk menempatkan kemuhammadiyahan atau NU ini. Sekian,
terimakasih.
Penulis : Diandra
Fauzah Avrilitha (mahasiswa Prodi Sastra Inggris Universitas Muhammadiyah Purwokerto)