Di Indonesia terdapat banyak
sekali organisasi dakwah agama Islam, yang paling familiar di lingkungan
sekitar kita yaitu Nahdatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Dua organisasi dakwah
tersebut disebut-sebut sebagai organisasi agama Islam yang terbesar di seluruh
Indonesia, karena banyak sekali cabang organisasi NU dan Muhammadiyah di
Indonesia di kota-kota besar atau di pelosok desa sekalipun. Muhammadiyah dan
NU memiliki beberapa pandangan yang cukup berbeda, karena di dalam ajaran
Muhammadiyah diketahui dengan pemurnian agama Islam dan gencarnya dalam bidang
pendidikan. Sedangkan NU, mereka dikenal dengan toleransinya yang tinggi
terhadap tradisi Indonesia. Jikalau dilihat dari pandangan dari kedua
organisasi tersebut, sudah jelas bahwa NU memiliki lebih banyak anggota,
mengetahui fakta bahwa di Indonesia terdapat beraneka ragam tradisi dan budaya
terlebih di Pulau Jawa, selain itu pemerintah juga memilih untuk mengikuti
ajaran NU. Dilansir dari beberapa laman di internet, tercatat tiga puluh juta
warga Indonesia merupakan anggota Muhammadiyah, sedangkan empat puluh juta
warga Indonesia merupakan anggota NU.
Proses polarisasi pemikiran
dan pengalaman pendidikan dua tokoh utama pendiri NU dan Muhammadiyah, KH.
Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy'ari, yang merupakan representasi ulama
nusantara dari abad ke-19 dan ke-20, adalah dasar dari perbedaan orientasi
keagamaan antara NU dan Muhammadiyah. Walaupun kedua organisasi ini memiliki
pendidikan dan pengalaman yang berbeda, tetapi perbedaan mereka masih dapat
ditoleransi dan tidak menjadi konflik yang serius di kalangan pemerintah maupun
masyarakat Indonesia.
Dari sisi pendidikan pendiri
organisasi NU dan Muhammadiyah juga memiliki perbedaan, kedua pendiri
organisasi dakwah tersebut memiliki guru yang berbeda, maka tak dapat
dipungkiri juga kalau keduanya memiliki pemikiran dan pandangan yang berbeda.
KH. Ahmad Dahlan digurui oleh Syeikh Nawawi al-Bantani, Ibnu Taimiyyah,
Muhammad ibn Abdul Wahhab, Muhammad Abduh, Rasyid Rida, Kiai Mas Abdullah, Kiai
Faqih Kembang, Syeikh Muhammad Khatib al-Minangkabawi, Ibnu Qayyim al-Jauziyah,
dan Jamaludin al-Afghany. Orientasi keagamaan yang diajari oleh guru-guru untuk
KH. Ahmad Dahlan ini cenderung mengarah ke soal Purifikasi (pemurnian) ajaran
agama Islam, Reformisme Islam, Islam Rasional, dan juga Pembaruan terhadap
sistem pendidikan agama Islam.
Sedangkan KH. Hasyim Asy’ari,
beliau berguru kepada KH. Kholil Bangkalan, Syaikh Ahmad Amin al-Atthar, Sayyid
Sultan Ibn Hasyim, KH Yakub, Syaikh Sayyid Yamani, Sayyid Alawy Ibn Ahmad al-Saqqaf,
Sayyid Abas Maliki, Syaikh Shaleh Bafadal, Sayid al-Zawawy, dan Syaikh Sultan
Hasym al-Dagastany. Ajaran yang diberikan kepada KH Hasyim Asy’ari cenderung
mengarah ke perihal penganjur fiqih madzhab sunni terutama madzhab Syafi’I,
praktik tasawuf dan tarekat, faham ahlusunnah wal jamaa’ah, dan juga menekankan
pendidikan tradisional seperti pesantren.
Dalam hal keagamaan kedua
organisasi ini juga memiliki perbedaan, pada ajaran Muhammadiyah saat salat
subuh tidak membaca doa Qunut, tidak membaca salawat, salat tarawih yang biasa
dilakukan di saat bulan Ramadan hanya sebanyak delapan rakaat, bacaan niat
salat tidak membaca “ushalli”, bacaan
niat puasa dan wudu tanpa dijahr-kan,
tidak boleh mengadakan tahlil-an, dibaiyah, berjanzi, dan tasyakuran. Selain
itu, di dalam ajaran Muhammadiyah dianjurkan membaca zikir setelah salat dengan
suara pelan, azan subuh tanpa bacaan “Ashalatu
khairu minan naum”, azan Jumat hanya satu kali, tidak menggunakan kata “Sayyidina”, salat Id dilakukan di
lapangan, dan yang terakhir adalah tidak terikat pada mazab dalam fikih.
Sedangkan di dalam ajaran NU pada
saat salat subuh membaca doa Qunut, melafalkan salawat setelah azan, melakukan
salat tarawih sebanyak dua puluh rakaat, membaca niat salat dengan membaca “Ushalli”, membaca niat puasa diawali
dengan bacaan “Nawaitu sauma ghadin” dengan
jahr dan bacaan niat wudu dengan “Nawaitu wudu’a lirafil hadats”. Pada
ajaran NU juga dianjurkan mengadakan acara tahlil-an, dibaiyah, barjanzi dan
tasyakuran, lalu bacaan zikir setelah salat wajib dilafalkan dengan suara yang
keras, azan subuh mengumandangkan lafaz “Ashalatu
khair minan naum”, azan jumat dikumandangkan dua kali, menyebut Nabi dengan
kalimat “Sayyidina Muhammad”, salat
Id dilaksanakan di masjid, dan yang terakhir adalah menggunakan mazab empar
dalam fikih (Syafii, Maliki, Hambali, dan Hanafi).
Penulis : Ganeshiwi Intan Pebrawaninggil
(mahasiswa Prodi Sastra Inggris Universitas Muhammadiyah Purwokerto)