Pada hari Rabu, 7
Juni 2023 kami mengunjungi tempat ibadah Pura yang berlokasi di SPN. Kunjungan
kami ke Pura dilakukan dua kali, pertama pada tanggal 31 Mei 2023. Tetapi pada
hari itu tidak ada yang bisa diwawancara karena pembesarnya merupakan seorang
dosen di Universitas Jenderal Soedirman, yang mengharuskan memiliki janji
pertemuan terlebih dahulu dengan beliau. Kunjungan kedua yaitu pada 7 Juni
2023, lalu melangsungkan wawancara dengan salah satu anggota polisi yang
beragama Hindu tentang Dinamika agama.
Hindu hanya
mempunyai satu aliran yang sama, jadi tidak ada seperti perbedaan beberapa
madzhab atau golongan seperti Muhammadiyah atau NU dalam Islam. Agama Hindu dan
Budha mempunyai persamaan yaitu keduanya meletakkan dasar ajaran kebenaran
dalam kehidupan. Keduanya memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk menyelamatkan
manusia dari rasa kegelapan dan mengantarkannya dalam perjalanan mencapai
tujuan hidupnya masing-masing. Keduanya memiliki ritual keagamaan samadhi. Dan perbedaan antara agama
Hindu dan agama Buddha diantaranya adalah Pertama, Hindu mengenal sistem kasta,
sementara Buddha tidak mengenal sistem kasta. Kedua, Hindu memiliki 3 dewa,
sedangkan Buddha hanya mengenal Sidharta Gautama. Ketiga, Hindu menggunakan
kitab Weda, sedangkan Buddha menggunakan kitab Tripitaka.
Ibadah
dilaksanakan ketika matahari terbit, tengah dan tenggelam. Persembahyangan
dapat dilakukan dalam kuil keluarga maupun pura di lingkungannya. Ritual
terkadang melibatkan api atau air sebagai lambang kesucian. Pembacaan suatu
bait mantra terus menerus dengan notasi dan waktu tertentu, atau juga meditasi
dalam yang diarahkan pada dewa yang dituju. Pemujaan dalam Hindu dapat
ditujukan kepada arwah seseorang suci yang dimuliakan, dewata, salah satu atau
seluruh Trimurti dewa tertinggi dalam Hinduisme perwujudan Tuhan, atau meditasi
untuk mencapai kebijaksanaan sejati, mencari ketiadaan tak berbentuk seperti
yang dilakukan para resi dan orang suci pada dahulu kala. Beberapa tarian
sakral juga dianggap sebagai salah satu prasyarat kelengkapan suatu upacara
keagamaan. Waktu menyesuaikan menghadap ke timur atau menghadap ke gunung
karena orang Hindu percaya bahwa nenek moyang atau dewa berada ditempat tinggi.
Umumnya, pelaksanaan
sembahyang umat Hindu selalu diwarnai dengan beberapa sarana atau perlengkapan
seperti bunga, dupa, dan air. Sembahyang umat Hindu akan dirasa kurang khidmat
apabila tidak disertai dengan ketiga sarana sembahyang tersebut. Biasanya,
bunga yang digunakan sebagai simbol Tuhan akan diletakkan di ujung cakupan
tangan pada saat menyembah. Setelah prosesi penyembahan selesai, bunga akan
diletakkan di atas kepala atau disematkan di telinga. Sementara itu, bunga yang
digunakan sebagai sarana persembahan biasanya menjadi isi sesajen yang
disiapkan umat Hindu saat beribadah. Bunga dalam sesajen melambangkan
ketulusan, keikhlasan, dan kesucian hati umat Hindu untuk menghadap Sang
Pencipta.
Dupa adalah
wewangian yang umumnya berbentuk stik memanjang. Umat Hindu akan membakar dupa
saat sembahyang sebagai lambang api yang memiliki tiga fungsi. Adapun dalam
upacara persembahyangan, dupa memiliki makna yang dalam. Dupa berasal dari
Wisma, yaitu alam semesta. Asap dupa secara perlahan akan menyatu ke angkasa.
Naiknya asap dupa ke angkasa menjadi simbol untuk menuntun umat Hindu agar
menghidupkan api dalam raganya dan menggerakkan diri menuju Sang Hyang Widhi
(Tuhan). Sama seperti umat Islam yang menggunakan air untuk wudhu sebelum
shalat, atau umat Katolik yang menggunakan air suci untuk membuat tanda salib
sebelum masuk Gereja, umat Hindu pun menggunakan air untuk sembahyang. Air suci
menjadi sarana sembahyang yang penting bagi umat Hindu. Kemudian, usai
sembahyang, air suci akan dipercikkan tiga kali di kepala, diminum tiga kali,
kemudian diusapkan pada bagian tubuh lain seperti wajah, telinga, leher, atau
dada, sebanyak tiga kali. Air suci yang dipercikkan dan dikonsumsi setelah
sembahyang melambangkan berkah atau karunia dari Tuhan kepada umat Hindu.
Sewaktu masih dalam sesi wawancara,
Polisi yang kami wawancarai mengajak kami untuk melihat bagaimana dapur yang
dimiliki umat Hindu. Ternyata disana terdapat patung dewa yang berukuran kecil.
Patung tersebut ialah patung dewa Siwa. Beliau menjelaskan jika dalam
kepercayaannya dapur diperlukan tiga
unsur, yaitu api, air, dan angin. Ketiganya merupakan unsur Tri Amerta,
panugerahan Sanghyang Tiga yang ada di Kemulan. Unsur api dan air adalah unsur
yang bersebrangan dan berlawanan yang tak dapat dipertemukan. Kedua energi api
dan air ini hanya bisa dikendalikan oleh kekuatan Siwa, karena hanya kekuatan Siwa yang mampu menetralisasi semua
sifat-sifat energi alam.
Secara kasat mata, kehidupan antara
umat muslim dan umat hindu dapat hidup berdampingan secara harmonis tanpa
hal-hal yang negatif. Meskipun Hindu merupakan minoritas akan tetapi mereka
tidak merasa dibedakan oleh orang-orang beragama Islam yang menjadi mayoritas.
Berdasarkan pengamatan penelitian kami di lapangan, ada beberapa hal atau
faktor yang menyebabkan terjadi keharmonisan kedua pemeluk agama tersebut,
antara lain: adanya persamaan profesi, adanya hubungan kekeluargaan di antara
mereka, dan lain- lainnya. Kesamaan profesi yang kami maksud ialah sikap dan
rasa persatuan sebagai sesama Polisi. Karena lokasi Pura yang kami kunjungi
berada di dalam SPN (Sekolah Polisi Negara), jadi bisa kami bayangkan bagaimana
sikap toleransi sosok-sosok aparat negara ini di dalam satu wilayah yang sama
dengan jumlah banyak dan berbeda-beda suku serta agamanya.
Kemudian kami penasaran mengenai
Ogoh-Ogoh yang ada di Bali. Dijelaskan bahwa Pawai ogoh-ogoh adalah salah satu
tahapan pelaksanaan Hari Suci Nyepi yang memiliki makna mengusir Bhuta Kala
dari lingkungan rumah, pekarangan rumah, dan lingkungan sekitar. Kegiatan ini
pun mendapat sambutan hangat dan antusias tidak hanya umat Hindu saja,
melainkan dari berbagai kalangan agama lain turut menyaksikan pawai tersebut.
Tradisi ogoh-ogoh
biasa digelar dengan perayaan parade atau pawai dengan diiringi irama gamelan
khas Bali yaitu bleganjur patung.
Ogoh-ogoh berperan sebagai simbol prosesi penetralisir kekuatan-kekuatan
negatif atau kekuatan Bhuta. Ogoh-ogoh yang dibuat pada perayaan Nyepi adalah
perwujudan Bhuta Kala, makhluk besar dan menyeramkan. Karena setiap manusia
Bhuta atau mempunyai aura negatif. Oleh karena itu setelah pawai dilakukan,
seluruh “karya” Ogoh-ogoh ini dihancurkan dan dibakar guna dipercaya untuk
menghilangkan segala sifat negatif yang ada pada diri kita. Jadi bukan semata-mata
dihancurkan lalu dibakar karena pawai sudah selesai digelar, tetapi memang
bertujuan untuk menghilangkan segala aura dan sifat negatif yang terserap pada
Ogoh-Ogoh tersebut.
Informan : Briptu Komang selaku Polisi di SPN
beragama Hindu.
Penulis : Kamiliya Khansa, Ipal Nurcahyo, Asmi Nur Prasiwi, Ulfa Widyastuti, Maesaroh Wahyuningsih (Mahasiswa Prodi Hukum Ekonomi Syariah Universitas Muhammadiyah Purwokerto)