Pada artikel ini
saya akan menceritakan pengalaman hidup saya yang hidup diantara masyarakat NU
dan Muhammadiyah. Saya yang lahir dan dibesarkan di keluarga yang berapaham NU
kebetulan bertempat tinggal di suatu perumahan dengan 2 tempat ibadah dengan
paham yang berbeda yaitu Masjid yang menganut paham Muhammadiyah dan Mushola
yang menganut paham NU. Awalnya saya belum paham tentang kedua paham tersebut
karena pada saat awal kepindahan saya kesini saya masih berusia 10 tahun.
Ketika bulan
Ramadhan, Masjid dan Mushola tersebut sama-sama mengadakan shalat Tarawih
berjamaah. Awalnya saya selalu Shalat Tarawih 23 rakaat di Mushola karena lebih
dekat dengan rumah saya. Namun, seketika saya Tarawih di Masjid saya merasa
bingung karena hanya melaksanakan shalat 11 rakaat, saya pun bertanya-tanya
dalam hati “mengapa demikian?”. Ketika
di rumah saya pun langsung menanyakan hal tersebut kepada kedua orang tua saya,
lalu Ibu saya menjelaskan bahwa kedua tempat beribadah tersebut memiliki aliran
yang berbeda. Sejak saat itulah saya mulai mengetahui bahwa ternyata dalam
Agama Islam terdapat berbagai paham dan aliran. Namun saya tidak pernah
mempermasalahkan atau membeda-bedakan orang dari paham dan aliran agamanya,
karena bagi saya selama tujuan nya satu yaitu menyembah Allah SWT maka tidak
masalah.
Semakin dewasa,
saya mulai berpikir dan bertanya-tanya “apakah boleh orang dengan paham NU
melaksanakan sholat di tempat Muhammadiyah?”. Saya melakukan research dan
bertanya-tanya kepada orang sekitar yang paham tentang Agama Islam. Lalu saya
menyimpulkan bahwa baik muhammadiyah maupun NU, mereka semua adalah muslim.
Untuk itu, amal ibadah mereka sah selama memenuhi syarat dan rukunnya, serta
memungkinkan diterima oleh Allah ta’ala.
Terdapat satu
kaidah yang masyhur terkait masalah shalat jamaah. kaidah itu menyatakan:
من صØت صلاته صØت إمامته
“Orang yang
shalatnya sah, maka shalat dengan bermakmum di belakangnya juga sah”
Oleh karena itu,
selama sang imam shalat adalah orang yang aqidahnya lurus, tidak melakukan
perbuatan yang menyebabkan syahadatnya batal, alias masih muslim, syarat,
rukun, dan wajib shalat dikerjakan maka shalatnya sah. Meskipun ada perbedaan
pendapat antara imam dan makmum dalam masalah rincian shalat.
Selama saya
tinggal disini seluruh warga baik yang menganut NU maupun Muhammadiyah saling
menjunjung tinggi toleransi dan hidup rukun berdampingan. Contoh nyata nya
adalah ketika Hari Raya Idul Fitri, biasanya masyarakat Muhammadiyah lebih dulu
melaksanakan Shalat Ied satu hari lebih awal dibandingkan dengan Masyarakat NU.
Namun, di perumahan yang saya tinggali Masyarakat Muhammadiyah sepakat untuk
mendirikan Shalat Ied bersamaan dengan waktu NU.
Selama tinggal di
dekat Mushola NU dan Masjid Muhammadiyah, saya juga belajar untuk menghormati
perbedaan agama dan tradisi antara kedua jamaah. Saya belajar tentang
nilai-nilai toleransi dan saling menghormati dalam hidup berdampingan dengan
komunitas yang beragam. Kehidupan sehari-hari di sekitar tempat ibadah ini
mengajarkan saya pentingnya kerukunan antarumat beragama dan menjadikan saya
lebih terbuka terhadap keanekaragaman agama yang ada.
Secara
keseluruhan, pengalaman bertempat tinggal di dekat Mushola NU dan Masjid
Muhammadiyah telah mengajarkan saya banyak hal tentang Islam, toleransi, dan
hidup berdampingan dengan komunitas yang berbeda-beda. Saya merasa diberkati
dengan kesempatan ini dan berharap dapat terus memperkuat hubungan yang
harmonis dengan tetangga dan jamaah di sekitar saya.
Penulis
: Fariddin Zakky Atthoriq (mahasiswa Prodi Sastra Inggris Universitas Muhammadiyah
Purwokerto)