Selama ini sebagai seorang muslim, saya awalnya tidak begitu paham akan adanya suatu organisasi gerakan Islam seperti Muhammadiyah, tidak paham akan fungsi adanya organisasi tersebut. Namun saya tahu bahwa keluarga besar dari pihak ibu saya termasuk mengikuti Muhammadiyah, indikasi yang saya sadari adalah ketika waktunya bulan Ramadhan, dan akan ditentukannya Hari Raya Idul menggunakanFitri, saya selalu mendengar bahwa kami akan mengikuti ketentuan dari Muhammadiyah. Belakangan setelah saya mencari tahu bahwa dalam menentukan 1 syawal atau Hari Raya Idul Fitri, NU metode yang sama dengan pemerintah yaitu Rukyatul Hilal (pengamat langsung). Adapun Muhammadiyah menggunakan metode hisab. Maka dari itu tidak heran beberapa kali terjadi perbedaan hari raya antara keduanya misalnya pada 2006, 2007, dan 2010. Terdapat hal yang juga saya sadari karena adanya perbedaan signifikan mengenai hal yang menyangkut ibadah dengan pihak keluarga Ayah yang saya pahami bahwa biasanya mereka mengikuti aturan pemerintah. Maka dari perbedaan perayaan Hari Raya, saya mulai tertarik untuk membandingkan kebiasaan antara keluarga pihak Ayah dengan pihak Ibu mengenai kebiasaan beribadah ini.
Saya bertanya-tanya
apa saja perbedaan dan persamaan yang ada jika kita mengikuti Muhammadiyah dan
jika kita termasuk yang mengikuti Muhammadiyah. Kemudian setelah perayaan Hari
Raya Idul Fitri, adalah ajaran pembacaan doa iftitah pada ibadah Sholat, saya
sedari kecil diajarkan untuk menggunakan bacaan “Allahumma baa’id bainii…” yang
ternyata biasa dilafalkan oleh orang Muhammadiyah. Hal ini saya sadari setelah
saya mengetahui benerapa teman saya dan sepupu dari keluarga Ayah yang
menggunakan doa iftitah yang berbeda yakni “Allaahu akbaru kabiira
walhamdulilaahi katsiro..”. Kemudian adanya perbedaan jumlah raka'at shalat
Tarawih, NU 23 raka'at, sementara Muhammadiyah 11 Raka'at. Muhammadiyah biasa
menyelenggarakan solat bersama di lapangan terbuka pada hari-hari besar Islam,
seperti Idul Fitri dan Idul Adha.
Selanjutnya,
saya memperhatikan kebiasaan dari keluarga Ayah saya yang ketika ada kerabat
meninggal dunia, yang lalu diadakannya tahlilan atau tradisi 7 harian, 40
harian, 100 harian, hingga 1000 harian. Acara tersebut biasanya berisi kegiatan
yang diadakan keluarga untuk mengundang warga sekitar dengan tujuan mendoakan,
biasanya dilakukan lantunan ayat suci Al-Qur’an berupa Surat Yasin, kemudian
menjamu para tamu, dan memberikan buah tangan berupa uang atau sembako. Lalu
ketika ada kebiasaan dimana ketika makam sang kerabat nantinya tanahnya sudah cukup
rata maka akan dibangun kijing makam yang biasa berupa bangunan keramik persegi
panjang yang panjangnya sesuai dengan ukuran makam tersebut beserta nisan
berisikan nama sang mayat, tanggal lahir dan kematian. Tentu saja kegiatan ini
tidak berlaku bagi keluarga Ibu saya. Ketika kerabat dari keluarga Ibu saya
meninggal, tidak ada kegiatan tahlilan, makam pun tidak dibangun kijing seperti
itu. Saya diberitahu oleh Ibu dan saudara saya jika bagi keluarga kami, hal
tersebut makruh dan jika ada kerabat yang sudah meninggal dunia maka
terputuslah amalannya kecuali sedekah jariyah, ilmu yang bernanfaat, atau anak
sholeh yang mendoakannya. Maka kegitan tahlilan bisa dianggap kurang
berpengaruh pada si yang meninggal dunia, kecuali mungkin diadakan kegiatan tersebut
untuk menjalin silahturahmi antar warga. Namun hal tersebut tidak mengganggu
kekeluargaan kami, ketika dari keluarga Ayah saya mengadakan kegiatan tersebut, saya beserta
Ibu dan adik selalu tetap datang menghormati.
Kembali lagi
walaupun keluarga dari Ibu mungkin tidak secara langsung aktif dalam mengikuti
organisasi Muhammadiyah, namun kebanyakan dari kami sudah mengikuti ajaran yang
biasa dilakukan oleh Muhammadiyah. Saya tidak bisa menjelaskan apakah keluarga
dari Ayah saya termasuk mengikuti ajaran organisasi atau gerakan tertentu,
namun hal yang bisa saya pastikan bahwa keluarga Ayah saya masih termasuk
orang-orang yang selalu mengikuti tradisi dan budaya sekitar. Masih dalam
kepercayaan yang terkadang berlandasan kejawen hingga takhayul, walaupun tidak
terlalu sering.
Setelah belajar
lebih banyak tentang Muhammadiyah, saya menemukan bahwa Muhammadiyah sendiri
adalah salah satu gerakan atau organisasi Islam terbesar di Indonesia. Muhammad
dan iyah adalah dua suku kata dalam kata Muhammadiyah. Muhammad dimaksudkan
untuk merujuk pada Nabi dan Rasulullah SAW bin Abdullah, sedangkan kata iyah
diambil untuk menandakan pengikut. Diterjemahkan secara harfiah sebagai
"pengikut Nabi Muhammad", istilah “Muhammadiyah” digunakan untuk
menyebut (menghubungkan) ajaran dan peninggalan sejarah Nabi Muhammad SAW.
Sikap, pemikiran, dan tindakan Kyai Haji Ahmad Dahlan, pendiri organisasi ini,
terkait dengan lahirnya Muhammadiyah sebagaimana yang dimaknai. Beliau mampu memadukan Islam yang ingin kembali
pada Al-Quran dan Sunnah Nabi dengan orientasi tajdid yang membuka pintu
ijtihad untuk kemajuan.
Demikian pula, Kyai
Ahmad Dahlan, seperti para pembaharu Islam lainnya, bercita-cita untuk
membebaskan umat Islam dari kelesuan dan membantu mereka menjalani kehidupan
yang progresif melalui tajdid, atau reformasi, yang memasukkan unsur tauhid
atau 'aqidah, ibadah, mu'amalah, dan ilmu ajaran Islam. Dengan membuka ijtihad,
Islam dan kehidupan umat Islam dibawa kembali ke sumber aslinya, Al-Qur'an dan
Sunnah Nabi yang sebenarnya. Dalam bidang pendidikan, Muhammadiyah
menggabungkan antara sistem pendidikan pesantren yang lebih menekankan pada
dimensi religius-spiritual dan pendidikan barat sebagaimana pendidikan pada
umumnya yang berfokus pada pengetahuan dan ketrampilan duniawi.
Asal muasal dan
pertumbuhan Muhammadiyah bahkan dicirikan oleh lembaga pendidikan Islam yang
“modern”, yang membedakannya dari pesantren lain pada masa itu. Pendidikan
Islam “modern” ini kemudian diadopsi dan dijadikan pusat pembelajaran bagi
seluruh umat Islam. Langkah sejarah ini merupakan gerakan reformasi yang
efektif melahirkan generasi muslim terpelajar. Bagi saya hal ini selaras dengan
yang selama ini saya ketahui, organisasi Muhammadiyah sangat terkenal akan
tingkatan pendidikan yang didirikan. Banyak sekali sekolah maupun perguruan
tinggi dibawah naungan Muhammadiyah yang memiliki akreditasi yang baik. Ini
membuktikan bahwa Muhammadiyah konsisten akan tujuannya untuk melaksanakan
pembaruan secara dinamis terutama dalam hal pendidikan.
Penulis : Yasmine
Kartika Salsabila Wigrantoro (mahasiswa Prodi Sastra Inggris Universitas Muhammadiyah
Purwokerto)