Di lingkungan tempat tinggalku, masyarakaynya kebanyakan mengikuti
ormas NU. Yang mengikuti ormas Muhammadiyah ada. Tapi, tidak sebanyak yang
mengikuti NU. Masyarakat di tempat tinggalku memiliki toleransi yang tinggi.
Mengikuti ormas NU atau muhammadiyah tidak menjadi perdebatan. Semuanya damai.
Semuanya juga beribadah di tempat yang sama. Yaitu di mushola kami.
Walaupun mayoritas masyarakat di tempat tinggalku adalah NU. Namun
setelah saya perhatikan, mereka mengguanakan cara beribadah yang biasa
dilakukan oleh ormas Muhammadiyah. Seperti tidak menggunakan doa qunut ketika
shalat subuh dan berdzikir sendiri-sendiri setelah shalat. Di sekitar tempat tinggalku
masih terdapat tradisi tahlilan tiga hari, tujuh hari, empat puluh hari.
Tradisi tersebut sudah ada sejak lama.
Tradisi selametan ketika ada bayi yang baru lahir juga ada. Biasanya
itu dilakukan ketika bayi berumur tujuh hari. Saat itu juga bayi diberikan
nama. Setelah itu malamnya diadakan syukuran. Ketika ada orang sukses yang
mencapai cita-citanya juga biasanya mengadakan syukuran. Syukuran di sini
berarti kita bersyukur kepada Allah SWT atas segala nikmat dan rezeki darinya.
Dalam menentukan hari pertama puasa masyarakat kami mengikuti ormas
Muhammadiyah. Muhammadiyah menggunakan sistem perhitungan astronomi atu hisab. Sedangkan
NU menggunakan metode rukyat. Dari kedua metode tersebut memiliki kelebihan dan
kekurangannya masing-masing. Untuk metode hisab memiliki kelebihan yaitu awal
ramadhan bisa ditentukan hingga sepuluh tahun ke depan. Karena perhitungannya
yang menggunkan sistem hisab yang dimana benda-benda angkasa akan beredar
dengan konstan dan tidak berubah. Sedangkan untuk metode rukyat memiliki
kelebihan yaitu akurasinya yang tepat dalam menentukan awal Ramadhan. Karena
hilal dilihat secara langsung dan itu yang menjadi pertanda mulainya bulan
Ramadahan. Sehingga ketika hilal sudah terlihat masyarakat yakin dengan sepenuh
hati bahwa besok sudah mulai berpuasa.
Disetiap waktu menjelang bulan Ramadhan, warga di desa Toyareka
RT03/RW02, Kec.Kemangkon, Kab.Purbalingga selalu mempersiapkan kedatangan bulan
Ramadhan dengan baik. Masyarakat bekerja bakti untuk membersihkan lingkungan
sekitar. Terutama para bapak-bapak, mereka membersihkan jalan-jalan dan
selokan. Jalanan menjadi bersih dari sampah. Selokan yang bersih karena tidak
ada yang menyumbat. Hingga mushola yang dibersihkan dan dicat kembali sehingga
terlihat bersih dan apik. Itu dimaksudkan untuk menumbuhkan rasa semangat
ketika beribadah di bulan Ramadhan. Mereka semua melakukan kerja bakti dengan
ikhlas untuk menyambut kedatangan bulan suci. Wajah mereka terlihat
berseri-seri ketika kerja bakti. Mereka dapat berkumpul dengan warga sekitar
sehingga momen tersebut menjadi momen untuk berkumpul dan bersilaturahmi.
Mengingat di hari biasa para bapak-bapak harus bekerja untuk menafkahi keluarga
mereka. Sehingga kesempatan untuk berkumpul dengan para warga menjadi langka
karena padatnya aktivitas.
Ketika bulan Ramadhan, aktivitas yang berkaitan dengan mushola
meningkat drastis. Dari sesudah sahur hingga setelah sholat tarawih selalu ada
aktivitas di mushola kami. Dari sehabis sahur, ketika kegelapan masih
menyelimuti malam. Ketika hawa dingin yang membuat mata terasa berat untuk
terbuka. Rasa kenyang sehabis makan sahur yang membuat malas untuk melangkah
keluar. Tapi, hal itu tidak bisa memadamkan semangat kami untuk beribadah di
bulan Ramadhan. Kami mengambil air wudhu di rumah, mengenakan baju koko, dan
membuka pintu untuk melangkahkan kaki menuju ke mushola untuk bertadarus
Al-Quran. Dalam perjalanan ke mushola sesekali memandangi langit yang dipenuhi
dengan jutaan bintang yang berkilauan. Menatap bulan yang tersenyum kepadaku
dengan tulus membuat hati ini lebih bersemangat untuk mengerjakan kebaikan.
Ketika memikirkan hal seperti itu, rasanya seluruh alam semesta juga gembira
dengan datangnya bulan yang mulia ini.
ada tadarus Al-Quran hingga subuh. Adanya tadarus Al-Quran membuat
suasana Ramadhan terlihat berkesan baik dan menentramkan hati.
Setelah sholat subuh berjamaah, ada kuliah subuh yang pembicaranya
adalah pak ustadz. Pak ustadz menyampaikan materi tentang ilmu Agama sedangkan
para jamaah mendengarkannya dengan seksama. Ceramah yang disampaikan oleh pak
ustadz sangat bagus. Hingga hati kami tersentuh setelah mendengarkan ceramah
darinya. Ada satu tema yang paling berkesan untukku dari ceramah pak ustadz.
Yaitu tentang kasih sayang Allah SWT kepada para hamba-hambanya. Inti dari
ceramah itu adalah bahwa kasih sayang Allah SWT pasti akan selalu jauh lebih
besar dari yang kita pikirkan.
Kali ini aku akan sedikit bercerita tentang kenangan terindahku
waktu aku masih kecil. Terutama pada bulan Ramadhan. Ketika gelapnya malam
masih menyelimuti dunia. Embun pagi yang dingin dan tebal turun dari langit
untuk menyegarkan tumbuhan. Anak-anak pergi ke rumah teman-teman dan memanggil
nama dari depan rumah lalu mengajak jalan-jalan pagi sambil membawa petasan.
Bercerita dengan teman sebaya, melakukan sedikit kenakalan, dan tertawa bersama
adalah kebahagiaan tersendiri untuk mereka. Saat aku masih kecil, aku juga
merasakannya. Sungguh senang aku pada waktu itu. Tapi, entah kenapa ketika aku
menginjak kelas 5 SD aku kehilangan kebahagiaan itu. Teman-temanku sudah tidak
mau jalan-jalan pagi bersama lagi ketika bulan puasa. Aku tahu dari
teman-temanku sudah ada yang memasuki jenjang SMP bahkan ada yang SMA. Menurut
pendapatku, mau berapapun umurnya teman-tetaplah teman.
Ketika menjelang buka puasa. Ada satu kegiatan yang wajib dilakukan
yaitu ngabuburit. Kalau anak-anak ngabuburit dengan cara bermain atau bersepeda
dengan teman-temannya. Para ibu-ibu di rumah mempersiapkan masakan untuk
berbuka puasa. Sedangkan bapak-bapak ngabuburit dengan cara tadarus Al-Quran di
mushola. Hal itu ditujuka untuk memeriahkan bulan ramadhan. Masyarakat sekitar
pun berlomba-lomba untuk meraih pahala dengan meletakan takjil untuk berbuka
puasa di mushola. Karena mereka tahu bahwa orang yang memberikan makanan kepada
orang lain untuk berbuka puasa, maka ia akan mendapatkan tambahan pahala puasa
sama seperti pahala orang yang dibantunya.
Shalat tarawih di musholah kami menggunakan munggunakan 8 rakaat
dengan setiap 4 kali rakaat satu salam dan ditambah shalat witir 3 rakaat. Jadi
totalnya adalah 11 rakaat. Padahal mayoritas masyarakat di tempat tinggalku
mengikiuti ormas NU. Yang seharusnya tarawihnya 20 rakaat ditambah dengan 3
rakaat shalat witir. Tapi hal tersebut tidak menjadi masalah. Sebelum bulan
Ramadahan tiba, para warga sudah sepakat terlebih dahulu untuk menggunakan yang
11 rakaat. Hal tersebut diambil dengan penuh pertimbangan. Menurut pandangan
warga kami. Bila mau mengambil tarawih yang 23 rakaat, maka suratan yang dibaca
saat shalat tarawih adalah surat-surat pendek. Sedangkan untuk shalat tarawih
yang menggunakan 11 rakaat itu menggunakan surat-surat sedang dan panjang
ketika shalat tarawih. Sehingga baik itu 11 rakaat ataupun 23 rakaat tetap sama
waktu pengerjaannya. Biasanya di
sela-sela shalat tarawih dan witir ada santapan rohani. Santapan rohani adalah
ceramah singkat dari pemuka agama di tempat kami. Ceramh tersebut berlangsung
sekitar 10 menit hingga 15 menit. Dengan adanya santapan rohani diharapkan
dapat menyejukan hati dan menambah wawasan tentang ilmu agama bagi masyarakat.
Penulis : Afriza Firmansyah (mahasiswa Prodi Sastra Inggris Universitas Muhammadiyah
Purwokerto)