Ketika berbicara
tentang Muhammadiyah dengan orang Korea, hal yang paling susah menerangkan adalah soal amal usahanya. Orang Korea susah memahami bahwa Muhammadiyah mempunyai ratusan perguruan tinggi dan
ribuan sekolah yang didirikan dengan sumbangan dari orang- orang biasa. Mereka mengira Muham
ma diyah disponsori orang kaya dan besar, seperti raja, pejabat tinggi, atau konglomerat.
Mungkin, juga ada
orang-orang Indonesia yang belum tahu adanya puluhan ribu amal usaha Muhammadiyah. Apalagi cara mendirikannya.
Apakah hal itu benar bahwa amal usaha Muhammadiyah bukan buatan pusat persyarikatan, tetapi buatan simpatisan dan anggota Muhammadiyah?
Jawabannya, “hampir”
ya. Untuk memahami
gambaran amal usaha di atas, dua hal harus dipahami. Pertama adalah tekanan pada amal
di Muhammadiyah. Amal adalah faktor yang paling krusial untuk mengikat dan mempersatukan anggota Muhammadiyah. Pentingnya amal dapat dicontohkan dengan sang pendiri,
Ahmad Dahlan. Dia tidak mencoba
menulis buku yang menampung ajaran Muhammadiyah, tetapi mewariskan hasil nyata dan contoh teladan
dari perjuangannya.
Kedua adalah
struktur Muhammadiyah yang tidak bersifat
sentralistis.Sejak berdirinya Muhammadiyah, pusat tidak pernah membuat
cabang-cabangnya di bawah. Arahnya
terbalik. Orang atau kelompok yang berminat pada kegiatan Muhammadiyah meminta bergabung
dengannya. Akibatnya, otonomi
kegiatan maupun keuangan
cabang sangat tinggi dan voluntaritas (semangat volunterisme) sehingga cabang menjadi kunci.
Dalam sejarahnya, pola kekuasaan di dalam kerajaan tradisional dapat diterapkan pada masa awal Muhammadiyah. Orang dan kelompok
yang dipengaruhi oleh reformisme tertarik
pada kegiatan Muhammadiyah dan meminta bergabung
dengannya. Jika menunjukkan semangat mengikuti cita-cita Muhammdiyah, mereka
diperbolehkan menjadi cabang atau grup. Setelah bergabung, cabang mengusahakan mengikuti
dan menjalankan program
amal yang dicontohkan oleh pusat tanpa dukungan dari pusat. Dalam sistem ini, kesukarelaan cabang
dan daya tarik pusat merupakan kunci mempersatukan dan menghidupkan organisasi.
Setelah merdeka,
Muhammadiyah menerapkan struktur
administrasi pemerintah serta berdirilah pimpinan pusat dan struktur di bawahnya
hingga pimpinan cabang. Walaupun struktur formal menjadi hierarkis, dinamika antara pusat dan cabang tetap berlaku. Agar
sistem ini berjalan terus, pusat harus memenuhi
peran sebagai sumber teladan yang memberi inspirasi pada cabang. Tanpa adanya
daya tarik semacam ini, program pusat tidak dapat diterima.
Sekali lagi, di sini kita harus mempertimbangan pentingnya amal. Contoh teladan yang dapat diikuti
oleh cabang adalah
amal yang nyata.
Dengan pola seperti
itulah Muhammadiyah
mempunyai banyak amal usaha. Dengan pengertian ini, kita baru dapat
mengevaluasi stagnasi atau krisis Muhammadiyah yang dibicarakan sejak tahun 1990-an.
Salah satu faktor yang membawa stagnasi Muhammadiyah adalah
pengabaian pusat untuk menjalankan peran utamanya, yaitu bahwa pusat tidak begitu aktif dan produktif untuk memberikan teladan
baru yang dapat
menarik cabang. Pengabaian itu berhubungan dengan
pentingnya peran pusat sebagai koordinator urusan organisasi.
Semakin besar organisasi, semakin
banyak urusan intern yang harus dikelola
serta semakin kurang semangat dan
energi untuk mencari pola amal yang inovatif dan progresif. Majelis-majelis dan
badan- badan di tingkat pusat pun
menghadapi situasi yang sama. Untuk melakukan kegiatan rutin memerlukan energi
banyak sehingga contoh
amal baru susah
dikeluarkan.
Awal 2000-an, muncul arus
baru di tingkat pusat Muhammadiyah. Untuk memecahkan stagnasi, generasi
muda melontarkan pandangan
baru dalam menafsirkan ajaran-ajaran Islam. Walaupun
membawa angin segar, percobaan itu tidak memproduksi hasil yang
substansial, malah mengakibatkan konflik
intern. Salah satu penyebabnya adalah percobaan itu dilontarkan dan
didiskusikan di tingkat ide- ide daripada
di tingkat amal. Karena percobaan
itu tidak didampingi dengan hasil nyata dan
tidak berhubungan langsung
dengan amal, ide-ide itu susah diterima, malah dianggap sebagai upaya untuk memecahkan organisasi.
Muhammadiyah sedang
menghadapi abad kedua. Eksistensi dan perkembangan Muhammadiyah selama seratus tahun lampau menunjukkan bahwa organisasi ini
mempunyai kekuatan yang luar biasa. Akan
tetapi, posisi Muhammadiyah sebagai organisasi terkemuka, popular, dan
progresif susah bertahan tanpa adanya upaya revitalisasi pergerakan. Jika mengingat berbagai uraian atas, upaya itu harus
segera dimulai dengan mengembalikan peranan utama kepada pusat. Jika pusat berkonsentrasi dengan memberi contoh amal yang inovatif dan progresif, itu dapat menarik hati anggota-anggota biasa dan memperkuat semangat untuk mengamalkannya.
Amal baru apa yang dapat
di anjurkan? Sebagai peninjau Muhammadiyah, peran saya terbatas pada analisis. Peran untuk mencari model
baru dan cara melakukannya berada pada tangan warga Muhammadiyah.
Penulis : Evan Alesandro Wibowo (mahasiswa Prodi Manajemen Universitas Muhammadiyah
Purwokerto)