Tujuan Muhammadiyah adalah menjunjung tinggi agama islam sehingga
terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Sementara itu, Muhammadiyah merupakan
gerakan islan dakwah amar ma’ruf nahi munkar dan tadjid (pembaruan tentang
pokok ajaran islam) yang berssumber pada al-Qur’an dan as-Sunnah as-Sholihah. Walaupun
banyak pandangan yang bersebrangan, namun ada satu benang merah yang menyatukan
keduanya.
Antara NU dan
Muhammadiyah sama-sama memiliki sikap yang toleransi dengan agama lain, tidak
berat sebelah dan menjalankan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupannya. NU dan
Muhammadiyah adalah sebuah organisasi masyarakat yang bergerak pada bidang
keagamaan atau lebih tepatnya adalah sebuah organisasi masyarakat agama Islam
yang ada di Indonesia. Jika melihat jejak rekam dua organisasi Islam
terbesar di Indonesia ini, satu hal yang kerap kali ditemukan adalah masalah
perbedaan pola pandang.
Memang benar
jika dikatakan bahwa perbedaan pendapat keduanya sudah mengakar, bahkan sejak
awal didirikan keduanya pun sering berbeda pola pandang. Jika ditelusuri lebih
dalam, pangkal perbedaan itu adalah perbedaan mereka dalam memahami
prinsip-prinsip dasar metodologi penetapan hukum. Perbedaan awal ini lahir
akibat perbedaan cara pandang, yang selanjutnya berkonsekuensi pada perbedaan
cara menetapkan hukum dan selanjutnya produk hukum itu sendiri. Selain itu
juga, faktor perbedaan keduanya ada di tujuan dakwahnya ada di letak geografis
masyaratnya.
Jika NU lebih memilih berdakwah
kepada masyarakat menengah kebawah yang cederung tinggal di pedesaan, sementara
untuk Muhammadiyah lebih banyak diisi oleh masyarakat yang terpelajar dan
tinggal di daerah perkotaan. Muhammadiyah mengaplikasikan Islam yang lebih modern,
di mana lembaga yang lahir dari inspirasi pemikir-pemikir Islam modern seperti
Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Rida sekaligus pemikir salaf
seperti Ibnu Taymiah, Muhammad bin Abdul Wahab lebih menggunakan pendekatan
pendidikan dan transformasi budaya. Sejak didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan,
satu pelajaran yang paling penting dari kepemimpinan Ahmad Dahlan adalah
komitmen kuatnya kepada sikap moderat dan toleransi beragama. Perbedaan yang
disebutkan terakhir akan berhilir pada perbedaan ritual keagamaan sehari-hari (amaliyah yaumiyyah).
Perbedaan
ritual ini, akibat tidak dipahami dengan benar dan bijak, hasilnya membuat
kedua simpatisan Muhammadiyah dan NU dalam posisi saling berhadap-hadapan. Dari
sinilah awal mula timbulnya friksi tersebut. Dalam gambaran perbedaan
NU dan Muhammadiyah. NU ketika shalat jumat, adzannya dilakukan dua kali,
sedangkan Muhammadiyah hanya sekali saja. Setelah shalat fardhu, para
masyarakat NU selalu berdzikir bersama, sedangkan Muhammadiyah tidak melakukan
itu. NU membiasakan juga membaca puji-pujian menjelang shalat berjamaah,
sedangkan Muhammdiyah tidak. Untuk menentuikan awal puasa atau mengakhirnya,
Muhammadiyah melakukan keputusan dengan pendekatan hisab, sedangkan NU
menggunakan rukyat. Hasilnya kadang sama, tetapi sekali-kali berbeda. Dan
warga muhammadiyah menganggap bahwa tahlilan adalah bid’ah yakni melakukan
amaliyah-amaliyah tertentu yang tidak ada atau tidak diajarkan di zaman nabi
Muhammad SAW. Bid’ah itu sendiri artinya adalah suatu bentuk kegiatan yang
dihukumi haram untuk dilaksanakan. Dan warga muhammadiyah yang menjadi
minoritas itu, tidak ikut Yasinan karena memang muhammadiyah tidak ada tradisi
yasinan.
Ada juga yang
sekedar ikut untuk menghormati dan sekedar berbaur dengan masyarakat.
Muhammadiyah juga tidak menggunakan qunut karena melihat hadis-hadis tentang
qunut subuh dinilai lemah dan banyak diperselisihkan oleh para ulama. NU
dikenal dengan toleransinya terhadap tradisi-tradisi yang ada, sementara
Muhammadiyah dikenal dengan istilah pemurnian islam dan gebrakannya dalam dunia
pendidikan. Pendirian Muhammadiyah, antara lain,
juga dilatari untuk melakukan reformasi dan modernisasi umat Islam dengan jalan
puritanisasi pemikiran dan praktik keislaman. Karena dipengaruhi oleh
pemikiran-pemikiran modernis-reformis para ulama di Mesir seperti Jamaludin
Afghani, Muhammad Abduh, dan Muhammad Rasyid Rida, Muhammadiyah gencar
mengkampanyekan pentingnya atau wajibnya bagi umat Islam untuk berpegang teguh
hanya pada Al-Quran dan Hadis saja.
Kelahiran
Muhammadiyah sebagaimana digambarkan itu melekat dengan sikap, pemikiran, dan
langkah Kyai Dahlan sebagai pendirinya, yang mampu memadukan paham Islam yang
ingin kembali pada Al-Quran dan Sunnah Nabi dengan orientasi tajdid yang
membuka pintu ijtihad untuk kemajuan, sehingga memberi karakter yang khas dari
kelahiran dan perkembangan Muhammadiyah di kemudian hari. Kyai Dahlan, sebagaimana para pembaru Islam lainnya, tetapi
dengan tipikal yang khas, memiliki cita-cita membebaskan umat Islam dari
keterbelakangan dan membangun kehidupan yang berkemajuan melalui tajdid
(pembaruan) yang meliputi aspek-aspek tauhid (‘aqidah), ibadah, mu’amalah, dan
pemahaman terhadap ajaran Islam dan kehidupan umat Islam, dengan mengembalikan
kepada sumbernya yang aseli yakni Al-Quran dan Sunnah Nabi yang Shakhih, dengan
membuka ijtihad.
Mengenai langkah
pembaruan Kyai Dahlan, yang merintis lahirnya Muhammadiyah di Kampung Kauman,
Adaby Darban (2000: 31) menyimpulkan hasil temuan penelitiannya sebagai
berikut:”Dalam bidang tauhid, K.H A. Dahlan ingin membersihkan aqidah Islam
dari segala macam syirik, dalam bidang ibadah, membersihkan cara-cara ibadah
dari bid’ah, dalam bidang mumalah, membersihkan kepercayaan dari khurafat,
serta dalam bidang pemahaman terhadap ajaran Islam, ia merombak taklid untuk
kemudian memberikan kebebasan dalam ber-ijtihad.” Muhammadiyah
dengan inspirasi Al-Qur‘an Surat Ali Imran 104 tersebut ingin menghadirkan
Islam bukan sekadar sebagai ajaran “transendensi” yang mengajak pada kesadaran
iman dalam bingkai tauhid semata. Bukan sekadar Islam yang murni, tetapi tidak
hirau terhadap kehidup. Apalagi Islam yang murni itu sekadar dipahami secara
parsial. Namun, lebih jauh lagi Islam ditampilkan
sebagai kekuatan dinamis untuk transformasi sosial dalam dunia nyata
kemanusiaan melalui gerakan “humanisasi” (mengajak pada serba kebaikan) dan
“emanisipasi” atau “liberasi” (pembebasan dari segala kemunkaran), sehingga
Islam diaktualisasikan sebagai agama Langit yang Membumi, yang menandai
terbitnya fajar baru Reformisme atau Modernisme Islam di Indonesia.
Kelahiran
Muhammadiyah secara teologis memang melekat dan memiliki inspirasi pada Islam
yang bersifat tajdid, namun secara sosiologis sekaligus memiliki konteks dengan
keadaan hidup umat Islam dan masyarakat Indonesia yang berada dalam
keterbelakangan. Kyai Dahlan melalui Muhammadiyah sungguh telah memelopori
kehadiran Islam yang otentik (murni) dan berorientasi pada kemajuan dalam
pembaruannya, yang mengarahkan hidup umat Islam untuk beragama secara benar dan
melahirkan rahmat bagi kehidupan. Islam tidak hanya ditampilkan secara otentik
dengan jalan kembali kepada sumber ajaran yang aseli yakni Al-Qur‘an dan Sunnah
Nabi yang sahih, tetapi juga menjadi kekuatan untuk mengubah kehidupan manusia
dari serba ketertinggalan menuju pada dunia kemajuan.
Penulis : Mei Diana Eka Suci (mahasiswa Prodi Manajemen
Universtas Muhammadiyah Purwokerto)