Muhammadiyah adalah sebuah organisasi di Indonesia yang menjadi salah satu organisasi terbesar. Lahir pada tahun 1912
di Yogyakarta dan didirikan oleh K.H Ahmad Dahlan. Muhammadiyah memiliki makna pengikut Nabi Muhammad SAW. Muhammad
dan iyyah merupakan dua kata yang diambil untuk
mendirikan ‘Muhammadiyah’. ‘Muhammad’ diambil
dari nama Rasulullah SAW, sedangkan iyyah diartikan sebagai kata
sebelumnya dari bahasa Arab. Dari dua
kata tersebut, dapat diartikan bahwa Muhammadiyah adalah suatu golongan yang bersedia untuk mengikuti sunnah Nabi
Muhammadiyah SAW kedepannya. K.H Ahmad Dahlan
menggunakan nama Muhammadiyah sebagai gerakan dakwahnya kepada umat islam, memiliki maksud agar Muhammadiyah dapat
menggerakan seluruh muslimin dan muslimat untuk mengikuti perilaku atau gerakan Nabi
Muhammad SAW yang berhubungan dengan manusia maupun sang pencipta.
Saya lahir di lingkungan Nahdlatul
Ulama (NU). Semenjak
Sekolah Dasar, Sekolah
Menengah Pertama, dan Sekolah Menengah Atas, saya juga berada di lingkungan
Nahdlatul Ulama (NU). Baru pada saat kuliah,
saya berada di lingkungan Muhammadiyah yaitu di Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Rasanya tentu saja cukup berbeda.
Pada awalnya, saya
kurang paham tentang
apa itu Muhammadiyah, namun semakin
kesini saya makin
paham. Pada Nahdlatul Ulama (NU) cenderung bermahzab
Imam Syafi’i sedangkan Muhammadiyah tidak mengikuti mahzab
manapun.
Dulu, saya kira Muhammadiyah adalah
suatu organisasi yang cukup mandiri
karena tidak adanya acara tahlil untuk orang meninggal,
syukuran orang hamil, dan acara bermasyarakat
lainnya. Selain itu, tidak ada juga shalawatan dan berdzikir sesudah
sholat. Hal yang cukup berbeda dengan
Nahdlatul Ulama yang saya anut di lingkungan. Di Nahdlatul Ulama (NU), terdapat acara tahlil untuk orang
meninggal, syukuran orang hamil, shalawatan dan berdzikir setelah
sholat, serta acara bermasyarakat lainnya.
Beberapa perbedaan yang saya sebut diatas ternyata
memiliki suatu alasan.
Muhammadiyah tidak melakukan acara
tahlil untuk orang meninggal, syukuran
orang hamil, dan beberapa
acara bermasyarakat lainnya karena tidak ada dalil atau anjuran dari Rasulullah
SAW. Sedangkan Nahdlatul Ulama (NU)
melakukan hal tersebut guna berdoa kepada Allah SWT atas kematian, bersyukut akan lahirnya buah hati, dan hal baik
lainnya. Berdasarkan yang saya baca dari
beberapa sumber, banyak yang beropini bahwa hal yang dilakukan oleh Nahdlatul
Ulama (NU) ini adalah termasuk
bid’ah (melakukan hal yang tidak
ada anjurannya dari Rasulullah SAW).
Namun, banyak pula yang beropini
jika hal diatas bukan termasuk bid’ah, karena mereka melakukan untuk mengucapkan rasa syukur,
bukan hanya sekedar bersenang-senang atau hal
negatif lainnya.
Selain perbedaan tentang kehidupan bermasyarakat, terdapat pula beberapa perbedaan pada bacaan sholat antara golongan
Nahdlatul Ulama (NU) dengan Muhammadiyah yang saya temui. Perbedaan yang saya temui yaitu pada bacaan iftitah,
tahiyat, dan doa qunut pada sholat subuh.
Pada golongan Nahdlatul
Ulama bacaan iftitah
dan tahiyat lebih panjang daripada
golongan Muhammadiyah. Selain itu, pada golongan Nahdlatul
Ulama (NU), sholat subuh menggunakan doa qunut dan tentu saja saya
juga membacanya, namun pada saat bertanya kepada
teman saya bergolongan Muhammadiyah, dia tidak membacanya. Perbedaan ini tentu sangat
signifikan dan saya merasa terkejut
pada awalnya.
Perbedaan lain yang saya temui semenjak lebih mengenal
Muhammadiyah ini yaitu jumlah rakaat
sholat tarawih. Pada Nahdlatul Ulama (NU), saya biasa melakukan sholat tarawih sebanyak dua puluh rakaat
ditambah tiga rakaat
sholat witir. Selain
itu, sholat tarawih
dilakukan dengan cepat dan
bacaan surahnya pendek. Sedangkan pada Muhammadiyah jumlah rakaat sholat tarawih hanya sekitar sepuluh
rakaat dan ditambah tiga rakaat sholat witir serta bacaan surahnya cukup panjang sehingga memakan waktu
yang lama. Ada pula perbedaan jatuhnya hari raya idul fitri antara Nahdlatul Ulama
(NU) dengan Muhammadiyah. Biasanya, Muhammadiyah lebih dulu melaksanakan idul fitri dan Nahdlatul Ulama (NU) melaksanakannya pada hari berikutnya.
Pada Nahdlatul Ulama (NU) juga terdapat shalawatan atau
puji-pujian setelah adzan yang
dilakukan sembari menunggu imam data. Sedangkan pada Muhammadiyah tidak ada hal demikian.
Selain iu, masjid
Nahdlatul Ulama (NU) di daerah saya dan daerah lain terdapat bedug.
Hal ini karena Nahdlatul Ulama (NU) masih melestarikan ajaran Walisongo,
apalagi pada saat buka puasa ramadhan, bedug ini akan dibunyikan. Sedangkan
pada masjid Muhammadiyah yang saya temui,
tidak ada bedug disekitarnya. Contohnya adalah di kampus saya, disana tidak ada bedug. Hal ini mungkin dapat menjadi
pembeda antara masjid golongan Nahdlatul Ulama (NU) dengan golongan Muhammadiyah.
Kesimpulan dari tulisan di atas yang saya dapatkan beberapa
waktu ini yaitu terdapat perbedaan yang cukup signifikan dan cukup jelas antara golongan
Nahdlatul Ulama (NU) dengan Muhammadiyah. Perbedaannya pertama yaitu pada mahzab yang dianut.
Imam Syafi’i cendenrung dianut oleh Nahdlatul Ulama
(NU) sedangkan Muhammadiyah tidak menganut mahzab
manapun. Perbedaan kedua pada kehidupan bermasyarakat. Perbedaan ini antara
lain yaitu acara tahlil untuk orang
meninggal, syukuran orang hamil, dan acara bermasyarakat lainnya. Perbedaan ketiga yaitu pada perbedaan bacaan sholat dan hukum membaca qunut pada saat sholat subuh seperti yang saya jabarkan diatas. Perbedaan keempat yaitu pada rakaat sholat
tarawih pada saat bulan ramadhan dan perbedaan jatuhnya
hari raya idul fitri. Perbedaan
kelima dan yang terakhir yaitu
adanya shalawatan atau puji-pujian setelah
adzan serta adanya
bedug di masjid. Perbedaan-perbedaan yang saya
tahu ini mungkin hanya sedikit dan masih banyak perbedaan lainnya. Namun hal ini tidak merubah
bahwa sang pencipta
yang kami sembah,
tetap Allah SWT. Selain itu,
perbedaan ini seharusnya tidak menjadikan perpecahan diantara kedua belah pihak,
kita harus saling rukun
dan menerima perbedaan ini. Terima kasih.
Penulis : Tri Okta Viani
(mahasiswa Prodi Manajemen Universitas Muhammadiyah Purwokerto)