Apa yang membedakan
Muhammadiyah dengan NU? Perbedaan seperti pengertian ijtihad, pengertian
taqlid, dan cara-cara penyebaran ajaran Islam menyebabkan perbedaan. NU dan Muhammadiyah adalah
dua organisasi yang berbeda, meskipun hal ini bukan masalah prinsip. Nu masih
mengikuti Madzahb, yang cenderung (dalam Islam dianggap) Madzhab Imam Syafi'i,
Madzhab Imam Hanafi, Madzhab Imam Maliki dan Madzhab Imam Hambali. Meskipun
Muhammadiyah tidak mengikuti Madzhab.
Hubungan antara
Muhammadiyah dan NU tidak selalu harmonis, kadang bersahabat dan kadang
berkonflik. 35 Jika model hubungan antara Muhammadiyah dan aliansi nasionalis
baru dapat dibagi menjadi tiga model hubungan, yaitu 1) konfrontasi teologis
1912-1985, 2) harmoni semu, 1986-2000, 3) konfrontasi politik, 2000-2001. Sejak
tahun 2001, hubungan Muhammadiyah dan NU cenderung harmonis.
Lewis A. Coser melihat
manfaat konflik sebagai alat atau metode untuk memelihara, memperkuat, dan
menyatukan sistem sosial dalam tatanan sosial. Misalnya, selain aspek negatif
dari konflik, tumbuhnya solidaritas dan integrasi antar komunitas.
Konflik juga dapat
berdampak positif pada penguatan integrasi dan solidaritas internal.
Selanjutnya, dampak positif dari konflik ini dapat mendorong perubahan sosial
untuk menghilangkan kesenjangan sosial dan ekonomi. Efek negatif dari konflik
dapat menyebabkan ketakutan, permusuhan dan kurangnya kepercayaan.
Konflik yang muncul antara
Muhammadiyah dan NU tidak nyata dan seringkali bersifat ideologis. Konflik yang
tidak realistis ini seringkali lebih sulit dicari solusinya atau untuk mencapai
mufakat dan perdamaian. Penyelesaian konflik antara Muhammadiyah dan NU terus
berlanjut. Namun, perbedaan dan konflik di antara keduanya tidak dapat
sepenuhnya dihilangkan secara mendasar.
Anak-anak NU banyak
belajar di lembaga pendidikan Muhammadiyah, begitu pula generasi Muhammadiyah
yang bersekolah di pesantren NU. Perbedaan praktik ritual keagamaan yang selalu
menjadi ciri menonjol di antara keduanya mulai memudar. Hal ini terlihat pada
fenomena tahlilan,tarawih, shalat Ied, dan sejenisnya. Walhasil, “agama NU” dan “agama Muhammadiyah” yang dulu pernah menjadi ironi dan menghantui ukhuwah
islamiyah Sedikit demi sedikit dimulai dengan lagu-lagu rakyat Islami
Indonesia. Kegiatan intelektual dan sosial yang melibatkan kedua belah pihak
inilah yang disebut Coser sebagai “nilai-nilai keamanan” yang dapat meningkatkan
hubungan antara NU dan Muhammadiyah.
Contoh konflik ormas
tersebut adalah pelarangan pembangunan Masjid Muhammadiyah di Desa Sraten Kabupaten
Banyuwangi pada tahun 2021. Insiden itu adalah hasil dari konflik intoleransi
yang berkepanjangan antara kedua kubu. Setidaknya menurut informasi yang
diperoleh berbagai media, konflik antara Muhammadiyah dan tokoh-tokoh Islam
telah berlangsung sejak tahun 2000 hingga sekarang.
Selain konflik pembangunan
masjid, konflik lain yang terjadi antara kedua kelompok tersebut seperti
perebutan tanah wakaf dan masjid di Kabupaten Jombang, pembongkaran papan nama
di depan pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) dan rumah ketua PCM, penolakan
rencana pembangunan pondok anak berkebutuhan khusus milik Muhammadiyah dan
berbagai bentuk konflik lainnya.
Sejauh ini, kedua belah
pihak hanya mencapai bentuk negosiasi yang hanya dimediasi oleh pejabat lokal
di mana konflik terjadi. Dengan demikian, tanpa penanganan lebih lanjut atau
penyelesaian definitif dari kedua organisasi besar ini, konflik serupa terus
terjadi. Dilihat dari konflik-konflik yang terjadi, para pelaku konflik antara
Muhammadiyah dan tokoh Islam kebanyakan adalah anggota-anggota yang berafiliasi
dengan berbagai ormas, atau bisa dikatakan bahwa para pelaku konflik bukan
berasal dari pengurus inti berbagai ormas, melainkan Unsur-Unsur lainnya.
elemen, seperti administrator komunitas atau zona. Mengingat hal ini, akan jauh
lebih sulit untuk menyelesaikan konflik antara kedua pihak, karena kedua
organisasi tersebut tersebar luas.
Hubungan NU dan
Muhammadiyah terkadang berliku-liku, terkadang manis, dan terkadang sangat
kontradiktif. Tahun 1950-an adalah masa-masa manis ketika NU dan Muhammadiyah
melebur membentuk Masyumi, satu-satunya partai Islam, dan kemudian mengalami
konflik tajam ketika NU keluar dari Masyumi karena perbedaan organisasi yang
tajam.
Momen manis terbaru datang
saat Gusdul berkampanye sebagai presiden RI. Bahkan pada saat itu, Amin Rais
yang bisa mewakili warga Muhammadiyah terlibat dalam ziarah ke berbagai Makam
Suci warga NU, sebuah tradisi yang dalam pandangan Muhammadiyah justru
ditentang.
Namun hubungan itu menjadi
renggang ketika posisi Gus Dur terancam, dalam hal ini tokoh-tokoh Muhammadiyah
diyakini terlibat dalam upaya penggulingan Gus Dur yang menimbulkan kebencian
di kalangan warga NU. Bahkan di Jawa Timur, yang merupakan kantong warga NU,
banyak fasilitas Muhammadiyah yang rusak. Emosi naik turun sepertinya selalu
begitu.
Hal ini terkait dengan
masalah politik yang dihadapi oleh kedua belah pihak. Jika mereka saling
membutuhkan, mereka akan bekerja sama, dan jika ada konflik kepentingan, akan
sering terjadi konflik.
“Hubungan NU dan
Muhammadiyah saat ini berada di sweet spot, jangan sampai terombang-ambing oleh
isu-isu politik” kata Ketua PP Muhammadiyah Syafii Maarif pada acara Dialog
Kerukunan Umat Beragama pra-2004 untuk Memperkokoh Persatuan Bangsa dan Persatuan
Pemilihan Umum. diselenggarakan oleh Pusat Kerukunan Umat Beragama Kementerian
Agama Republik Indonesia di Hotel Sofyan Cikini Jakarta.
Syafii Maarif menyadari
jalan yang harus ditempuh masih panjang sebelum hubungan kedua organisasi ini
benar-benar bersatu.“Saat ini masih ada masalah di tingkat akar rumput,
tetapi di tingkat atas, masalah tersebut telah diselesaikan.” Dari segi budaya,
hubungan kedua negara juga menunjukkan tren yang membaik.
Persoalan khilafiyah yang
dulu menjadi konflik pahit, seperti jumlah rakaat shalat kunut, shalat tahlil
atau tarawih, tidak lagi menjadi persoalan, seperti persoalan penentuan hari
raya yang terkadang berbeda. Kedua belah pihak dapat saling memahami. Masalahnya,
bagaimanapun, isu politik telah menyurutkan hubungan antara kedua organisasi
dari waktu ke waktu, dan ini bisa terjadi lagi di masa depan.
Penulis : Nisa
Melly Inayati (mahasiswa Prodi Hukum Ekonomi
Syariah Universitas Muhammadiyah Purwokerto)