Dari yang kita tahu,
Muhammadiyah secara resmi bernama Persyarikatan Muhammadiyah yaitu, sebuah organisasi Islam non-pemerintah. Salah satu yang terbesar di Indonesia. Organisasi ini didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan di kota Yogyakarta pada tahun 1912. Sedangkan, Nahdlatul
Ulama (NU) sendiri
adalah Organisasi keagamaan
Islam Indonesia yang didirikan
oleh Hasyim Asy’ari, beliau kepala pesantren di Jawa Timur. Dan Nahdlatul Ulama (NU) adalah Organisasi Islam terbesar di
dunia. Di dirikan pada tanggal 31 Januari 1926, di kota Surabaya.
Di desa yang saya
tinggali ini, karena ada 2 aliran yang di pegang oleh masyarakat desa ini dimana sama-sama mencari ridha allah dan
menjalankan atau menunaikan ibadah
dengan mengikuti sunah nabi, yaitu
nabi Muhammad SAW. Sebelumnya, saya sendiri netral, kedua orang tua saya NU, nenek saya netral,
dan kakek saya NU, adik-adik saya pun insyaallah netral karna mereka
sendiri sekolah di MI Ma’arif NU, dan belajar mengaji di TPQ dengan rata-rata dan pemilik TPQ itu adalah penganut aliran Muhammadiyah. Dan sebelumnya kemuhammadiyahan di desa kami ini seperti memiliki batas wilayah (meskipun itu tidak untuk
serius) tetapi bisa dihitung ¼ nya dalam desa ini, daerah utara adalah daerah orang Muhammadiyah dan sisanya adalah mayoritas orang Nahdlatul Ulama (NU).
Saya sendiri waktu kecil tinggal di desa ini dan bersekolah di TK (Taman
Kanak-Kanak) Aisyiyah yang berarti rata-rata anak yang ber
sekolah di TK itu adalah anak-anak Aisyiyah/organisasi perempuan Muhammadiyah. Melanjutkannya lagi di SDn (Sekolah
Dasar Negeri), dan saya mengaji
sedari kecil di TPQ al-Huda yang mana pemilik/ustadz-ustadzah pengurus TPQ itu adalah pure orang Muhammadiyah. Sementara
itu di desa ini masjid Muhammadiyah itu sendiri
hanya ada 1 masjid besar dan 3 masjid besar NU. Disini saya melihat banyak perbedaan mulai dari masjid Muhammadiyah itu sendiri setelah
adzan tidak ada sholawat yang menyelingi waktu iqomah/qomat, niat dan beberapa
doa sholat yang berbeda tetapi memiliki arti yang sama, dilanjut dengan sehabis
sholat tidak ada zikir berjamaah, dan juga untuk pertama kalinya di umur lulusan
SD saya mengetahui bahwa sholat tarawih orang Muhammadiyah itu beda jumlah
rakaat nya. Saya sendiri bolak
balik sholat tarawih
mengikuti aturan
Muhammadiyah dan juga Nahdlatul Ulama (NU), sholatnya pun terkadang saya ikut ke masjid Muhammadiyah kadang juga ikut jamaah di masjid Nahdlatul
Ulama (NU). Dan perbedaan lainnya.
Dalam bentuk organisasi
pun, seperti NA Aisyiyah, IPNU, IPPNU, dan lain sebagainya, di desa kami sangat menonjol organisasi yang ada dalam naungan
Nahdlatul Ulama (NU), serta di desa ini kami memiliki gedung pertemuan khusus
untuk pertemuan rutin anak organisasi NU. Dan
anak organisasi Muhammadiyah tetap ada tetapi yang pasti bertempah di
sebuah daerah kecamatannya saja.
Sedangkan di desa ini sendiri blm ada kantor dan gedung pertemuan untuk organisasi Muhammadiyah itu sendiri.
Tetapi jika ada pengajian rutin besar NA orang Muhammadiyah itu
sendiri akan segera berkumpul menjadi
satu untuk menyiapkan apapun yang harus dan di perlukan dalam
pengajian rutin besar
ini. Kami pun sebagai santri-santriwati dari
TPQ Al-Huda siap selalu untuk membantu
menyiapkannya.
Satu perbedaan lagi yang saya alami dalam mengikuti ke-2 aliran ini, yaitu puasa
dan hari raya
idul fitri, di Muhammadiyah seperti
yang kita tahu bahwa puasa orang Muhammadiyah biasa menggunakan
puasa 29 hari dan memulai hari raya idul fitri sehari lebih dulu dari pada Nahdlatul Ulama (NU)/aturan pemerintah.
Tidak ada tahlil, dan tidak ada syukuran dengan latar belakang melakukan
acara. Dan yang lain-lain. Begitu juga dengan adzan, masjid Muhammadiyah
lebih sering lebih dulu 1-2 menit dari masjid Nahdlatul
Ulama (NU).
Dalam pengajaran TPQ itu
sendiri kami juga di ajarkan doa, niat sholat yang berbeda dengan doa dan niat sholat dari NU. Tetapi memang saya akui kalau ajaran Muhammadiyah sangat lah jelas dan tegas. Mengajarkan kami qiroah
dengan baik dan indah, manggiring santri untuk
menghafal hafalan nya dengan tegas.
Saya juga pernah
menjadi seorang Aisyiyah
pada waktu saya berada di kelas 7-9. Dan kebetulan saya bersekolah di MTs Ma’arif NU. Dan sekarang saya masuk dalam Universitas Muhammadiyah
Purwokerto (UMP) dalam artian yang pasti ada
unsur kemuhammadiyahan dalam Universitas ini.
Dalam pengalaman saya, saya juga memiliki nenek yang mengikuti
pengajian rutin NA (Aisyiyah) dan sering mengikuti pengajian besar Aisyiyah juga. Beliau juga mengikuti pengajian rutin NU. Dan kesimpulannya nenek saya melakukan ajaran keduanya, beliau mengikuti kedua nya dan mengajarkan saya untuk mengikuti keduanya
juga.
Kesimpulan, di desa kami dan lingkungan saya adalah
lingkungan yang baur-membarur kental antara
Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama
(NU). Tidak ada perbedaan ras dll sedikitpun
dari masalah ini. Justru di lingkungan saya Muhammadiyah dan Nahdlatul
Ulama (NU) saling membantu, saling bersilahturahmi sesuai dengan apa yang kita pelajari tentang
tali silahturahmi.
Penulis : Nurahma Salsa Eka Afitarani (mahasiswa Prodi Manajemen Universitas
Muhammadiyah Purwokerto)