Minyak bumi adalah sebagai salah
satu suber daya yang sangat penting. Manfaat minyak bumi salah satunya sebagai
bahan bakar untuk kendaraan untuk alat transportasi yang digunakan oleh
masyarakat maupun untuk mesin yang digunakan oleh perusahaan-perusahaan. Minyak
bumi ini lalu dikelola menjadi berbagai produk salah satunya bahan bakar minyak
(BBM). Jadi BBM ini sangat penting dan dibutuhkan dalam kegiatan kehidupan
masyarakat, jika hilang atau langka masyarakat akan merasa terancam, kehidupan
mereka bisa berubah bahkan bisa menghentikan kegiatan perekonomian di suatu
wilayah tersebut. Maka dengan adanya kenaikan harga BBM ini masyarakat tidak
terima.
Wacana tentang kenaikan harga
bahan bakar minyak (BBM) sepertinya sudah bukan hal yang tidak asing terjadi di
negara Indonesia. Kenaikan BBM ini sudah terjadi sejak masa kepemimpinan
Soeharto dan berlanjut sampai masa sekarang ini dibawah kepemimpinan Joko
Widodo. Sejak masa kepemimpinan Soeharto terhitung ada sebanyak tiga kali
kenaikan harga BBM tersebut. Pada tahun 1980 harga BBM dibanderol pada Rp 150,
lalu pada tahun 1991 naik menjadi Rp 550. Dua tahun kemudian pada 1993 harga
BBM naik menjadi Rp 700, hingga pada 1998 kian naik menjadi Rp 1.200.
Selanjutnya, pada masa Habibie
kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) ini tidak terjadi. Sebaliknya, harga
BBM justru turun pada masa kepemimpinan Habibie di mana beliau ini yang hanya
menjabat sebagai presiden selama satu tahun lebih. Di mana harga BBM yang dibanderol pada Rp
1.200 turun menjadi Rp 1.000. Penurunan harga BBM juga terjadi pada masa
kepemimpinan Gus Dur. Di mana BBM pada masa Gus Dur ini dibanderol per liternya
menjadi Rp 600. Namum, tidak lama kemudian pada tahun 2000 harga BBM naik
kembali yang dihargai sebesar Rp 1.150 per liternya. Satu tahun kemudian harga
bahan bakar minyak (BBM) naik kembali, untuk harga per liternya seharga Rp
1.450. Lalu pada masa kepresidenan Megawati, kenaikan harga BBM terjadi
sebanyak dua kali. Yaitu terjadi di tahun 2002, dengan awal mula dihargai Rp
1.450 naik menjadi Rp 1.550 per liternya. Kemudian di awal tahun 2003 bulan
Januari, bahan bakar minyak (BBM) ini melonjak naik menjadi Rp 1.810 per
liternya. Kenaikan harga BBM ini disebabkan pada masa itu harga minyak dunia
mengalami peningkatan sebanyak 108,3 persen dari 24 USD di tahun 2001 menjadi
50 USD per barel di tahun 2004.
Masa kepresidenan Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) selama dua periode terjadi kenaikan dan penurunan harga pada
bahan bakar minyak (BBM) sebanyak tiga kali. Harga BBM pada tahun 2003 yang
dibanderol sekira Rp 1.810 naik melonjak cukup tinggi menjadi harga Rp 2.400
hingga mencapai harga Rp 4.500. Dan sampai pada tahun 2008 harga BBM terus naik
mencapai Rp 6.000 per liternya. Di tahun yang sama juga 2008 bulan November
hingga Desember waktu itu terjadi penurunan harga BBM yaitu dibanderol dari
harga Rp 5.000 hingga sampai Rp 5.500 untuk per liternya. Lalu sampai di tahun
2009, harga BBM turun hingga mencapai angka Rp
4.500. Tidak lama kemudian empat tahun kemudian yaitu 2013, harga BBM
kembali melonjak naik hingga mencapai harga Rp 6.500.
Selanjutnya ada dimasa
kepresidenan Joko Widodo, di mana pada masa atau era ini terjadi beberapa kali
kenaikan dan penurunan harga bahan bakar minyak (BBM) dari berbagai jenis BBM
yang ada. Pada 2014 BBM jenis solar dan premium terjadi kenaikan harga. Untuk
solar dibanderol Rp 7.500 dan pada jenis premium seharga Rp 7.500. Di tahun
selanjutnya, 2015 harga premium turun menjadi Rp 7.600 sedangkan untuk solar
menjadi Rp 7.250. dan penurunan masih lanjut terjadi pada bulan yang sama di
tahun ini di mana harga Rp 6.600 untuk preium dan solar Rp 6.400. Namun, pada
bulan selanjutnya tepatnya bulan Maret harga BBM kembali naik sekitar Rp 7.300
untuk premium dan Rp 6.900 untuk solar. Pada tahun 2016 terjadi penurunan harga
BBM kembali, di mana harga premium Rp 6.500 dan solar Rp 5.150. Pada Januari
2018, kenaikan harga BBM kembali diumumkan, kenaikan harga ini tertuju pada
jenis Pertalite menjadi Rp 7.600 per liter. Dan pada bulan Maret 2018 BBM jenis
ini kembali naik menjadi Rp 7.800 per liter. Sampailah pada bulan September
2022, tepatnya tanggal tiga September terjadi kenaikan harga BBM yang cukup
signifikan. Dimana untuk harga Pertalite yang semula Rp 7.650 menjadi Rp 10.000
per liter, solar Rp 5.150 menjadi Rp 6.800, dan Pertamax naik dari harga Rp
12.500 menjadi Rp 14.500 per liternya.
Kenaikan harga BBM ini bisa
memicu kenaikan tingkat inflasi. Menurut pakar ekonomi, tingkat inflasi pada
tahun ini bisa dikatakan hampir sama dengan tahun 2013 dan 2014 tetapi juga
bisa lebih. Karena pada tahun ini ada konflik antara Ukraina-Rusia, geopolitik
memanas jadi bisa jadi memungkinkan untuk naiknya tingkat inflasi menjadi lebih
tinggi. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi pada Agustus 2022 mencapai
4,69 persen secara tahunan, sementara secara bulanan terjadi deflasi sebesar
0,21 persen. Kenaikan harga kebutuhan pokok yang terjadi akibat inflasi yang
tinggi, membuat daya beli masyarakat menurun. Meski pemerintah sudah memberi
bantuan berupa subsidi BBM, subsidi listrik, subsidi komoditas pangan, dan
subsidi upah namum harga kebutuhan pokok tetap meningkat.
Dampak inflasi mulai dirasakan masyarakat,
terlebih pada pekerja di Indonesia. Upah atau gaji masih menjadi indikator
ekonomi dan daya beli masyarakat. Meski sudah ada berbagai program subsidi salah
satunya subsidi upah yang diselenggarakan oleh pemerintah, hal tersebut tidak
merubah atau tidak menaikan daya beli masyarakat karena inflasi. Adanya
kenaikan inflasi yang berdampak pada berbagai macam sektor ini disebabkan
karena meningkatnya harga BBM bersubsidi. Kenaikan BBM ini yang disertai dengan
bantuan sosial dari pemerintah yaitu 24,17 T yang di mana bantuan atau subsidi
tersebut tidak mencukupi atau memadai. Komponen yang diberikan oleh pemeritah untuk
BLT yaitu 12,4 T untuk dibagikan hanya kepada
20,65 juta keluarga penerima manfaat. Jadi bantuan ini tidak diterima oleh
semua masyarakat. Padahal dampak dari kenaikan BBM ini dirasakan oleh seluruh
masyarakat Indonesia.
Jumlah bantuan langsung tunai (BLT)
yaitu Rp 600.000 dengan dua kali pencairan dan bantuan upah Rp 600.000 dengan
satu kali pencairan. Bantuan subsidi upah (BSU) ini diberikan kepada 16 juta pekerja
formal saja dengan persyaratan yang cukup berat di mana pekerja formal tersebut
harus memiliki BPJS Ketenagakerjaan aktif. Tercatat hanya 40 persen saja dari
total pekerja formal yang memiliki BPJS Ketenagakerjaan aktif. Jadi Tidak semua
orang yang punya dibawah 3,5 juta
mendapat bantuan subsidi bantuan upah ini. Dan juga tidak hanya pekerja formal
yang terkena dampak dari kenaikan harga BBM, tapi juga pekerja informal yang
tidak mempunyai BPJS juga terkena dampak dari kenaikan harga BBM ini. Apalagi bantuan
langsung tunai (BLT) ini meskipun wacananya cair cepat tapi nyatanya dalam
administrasi terdapat masalah yang menimbulkan banyak konflik karena data yang
ada tidak tepat sasaran karena data tersebut yag berasal dari kementrian sosial
dan tenaga kerja tidak saling terintegrasi datanya sehingga memungkinkan ada
data yang tidak tepat sasaran.
Bantuan BLT dan BSU ini diberikan
setelah kenaikan harga BBM karena ada persoalan administrasi yang di mana
seharusnya bantuan ini diberikan sebelum kenaikan harga BBM ini. Hal ini
membuat masyarakat miskin tidak bisa berbuat apa-apa dan merasa dijahati karena
tidak berpenghasilan dan terbebani karena mereka tidak mempunyai dana untuk
mengkompensasi kenaikan BBM. Kenaikan dari harga BBM ini sangat terasa
memberikan efek domino, memberikan berbagai efek di berbagai aspek. Bahkan orang-orang
yang tidak memiliki transportasi pribadi juga ikut merasakan. Dampak ke depannya
dari naiknya harga BBM bisa jadi berimbas kepada berbagai aspek, misalnya
disektor pendidikan. Uang SPP, uang sekolah, uang kuliah kemungkinan juga akan
meningkat karena para pendidik,baik itu guru, dosen juga terimbas oleh
meningkatnya harga BBM ini. Dampak lain dari kenaikan harga BBM ini yaitu pada
sektor perusahaan, mereka akan meminimalisir biaya operasional, karena kondisi
market tidak semarak karena adanya kenaikan harga dan disebabkan juga karena
daya beli masyarakat menurun sehingga memungkinkan perusahaan memberlakukan
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Hal ini bisa meningkatkan angka pengangguran
dan menambah tingkat kemiskinan.
Sedangkan dalam sektor
transportasi umum, kenaikan BBM ini sangat berpengaruh. Karena dengan naiknya
BBM maka tarif pembayaran mereka juga naik. Sehingga hal ini memicu menurunkan
daya tarik masyarakat untuk menggunakan transportasi umum. Lalu dampak lain
dari BBM ini berimbas pada pedagang usaha mikro kecil menengah (UMKM), dimana
mereka terdampak dari naiknya harga bahan pokok mereka merasa jika nantinya
jika bahan pokok naik maka mereka tidak bisa memproduksi dagangannya karena
harga bahan pokok yang tinggi. Dengan adanya inflasi yang sedang terjadi
sekarang ini pemerintah diharapkan lebih peduli dengan rakyatnya dan
memaksimalkan supaya tingkat inflasi tidak naik bahkan meminimalkan untuk
menekan terjadinya inflasi. Untuk menyelamatkan kondisi masyarakat dari adanya
inflasi terutama pada kelas menengah salah satunya dengan menaikan upah minimum
yang diberikan. Dengan naiknya upah ini diharapkan bisa menurunkan tingkat
inflasi dan kesejahteraan rakyat meningkat.
Penulis : Asifa Khoirunnisa (mahasiswa Prodi Hukum Ekonomi Syariah Universitas Muhammadiyah Purwokerto)
Gilang Sanjaya _2106040019
BalasHapusSaya pun tidak setuju mengenai kenaikan BBM ini,karena berdasarkan pemikiran saya mengenai polemik subsidi BBM. alasan pencabutan subsidi BBM versi pemerintah tidak mengena.Padahal BBM bukanlah satu-satunya pos pengeluaran yang memberatkan APBN. Masih ada pos pembayaran utang pokok dan bunga, untuk utang di dalam dan luar negeri.Sedangkan alasan pemerintah mengenai subsidi BBM yang salah sasaran dan menggantinya dengan dana kompensasi BBM. Namun saya pernah membaca di salah satu artikel lain bahwa program kompensasi juga masih salah sasaran dan seringkali bocor. ”Dari 11 program hanya 2 yang efektif, dan disinyalir 33 persen dana bocor. Seharusnya konsep program kompensasi dilakukan menyeluruh serta dijamin akurasi datanya dan tepat sasaran.
Nah maka dari itu sudah seharusnya kita sebagai masyarakat yang sadar menghimbau pemerintah menempatkan persoalan BBM sebagai bagian dari evaluasi kebijakan energi nasional yang terpadu. Kedua, pemerintah harus melakukan perubahan paradigma manajemen utang luar negeri. Dan, sesungguhnya penghapusan dan pengurangan pembayaran bunga obligasi bank rekap merupakan “subsidi” paling salah sasaran.Untuk dana kompensasi, dikatakannya, harus ada program yang menyeluruh serta dijamin tepat sasaran. Karena itu bisa untuk lebih meminimalkan lagi dampak negatif kenaikan harga BBM akibat penghapusan subsidi BBM. Selanjutnya, Pemerintah dihimbau segera membenahi Pertamina yang mengakibatkan ketidakefisienan BUMN. ”Jika itu tidak dilakukan Pemerintah harus menunda kenaikan BBM.